especially buat para JUMPers.. baik yang saya kenal ataupun nggak.. ^O^/
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
3 Januari, 2011...
Sepasang kaki jenjang itu melangkah dengan terburu-buru. Terdengar hembusan napas cepat dari hidungnya, bergerak-gerak mencari udara. Sesekali, ia melirik arloji berwarna biru langit di pergelangan tangannya, dan saat itu juga ia mempercepat langkahnya. Rambut hitam-semi-coklat milik pria itu berkibar lembut. Poni yang menutupi dahinya terlihat basah oleh keringat. Yah, siapapun kana berkeringat ketika berlari walaupun udara sore di Tokyo hari itu terbilang cukup dingin. Ditambah dengan butiran-butiran salju yang jatuh dengan lembut membuat pria itu harus memasukkan tangannya ke saku jaket, masih sambil berlari.
Dan di sudut yang lain, seorang gadis berjalan dengan senyum riang. Beberapa kali ia berhenti di depan etalase toko hanya untuk mengagumi barang yang dipajang kemudian berjalan pergi. Tidak, ia tidak miskin. Ia bukan orang miskin yang menatap barang yang mereka inginkan dengan memandangi barang itu lama-lama, meminta belas kasihan dari sang pemilik toko. Kalau bisa, ia sudah membeli seluruh pertokoan di jalan ini. Bukan maksud menyombongkan diri.
Walaupun natal sudah lewat, gadis itu masih merasakan semangat natal. Natal yang tidak sempat dirayakan bersama orangtuanya. Mengingat itu, senyum lebar sang gadis memudar. Diganti dengan sebuah garis lurus kaku yang pahit. Dengan cepat, ia menggelengkan kepala dan kembali tersenyum. Hei, gadis, tidak sadarkah kau bahwa orang-orang di sekitarmu menganggapmu gila? Ia akan mengambil langkah ketiga ketika dirasakannya sebuah benda menghalangi akses jalannya. Benda? Entahlah. Benda itu terasa hangat dan... apa? Bernapas...? Gadis itu mendongak dan mendapati seorang pria tengah menatapnya kesal.
“Kau menghalangi jalanku!” seru pria itu dengan nada tinggi. Ah? Pria? Tidak, ia terlalu cantik untuk ukuran seorang pria. Kalau begitu... wanita? Tidak mungkin seorang wanita mempunyai badan sedatar papan speerti itu. Jadi... dia apa?! “Oi! Kau tidak dengar apa kataku?! Kau. Menghalangi. Jalanku. Bodoh!”
Mendengar ocehan orang yang ditabraknya, gaids itu melangkah mundur. Tiga langkah dirasanya cukup. Baru saja pria itu ingin berlari, dua kata dari sang gadis membuatnya membatu. Rahangnya mengeras. Darahnya serasa naik ke kepala, mendidih. Bahkan salju pun bisa meleleh bila berada di dekatnya. Hiperbola? Memang. Dan dua kata itu adalah...
“Kau wanita?”
“Dengar ya, anak kecil.” Ia menarik napas dalam-dalam. “AKU INI PRIA! Kau bisa mendengarnya?! PRIA!” serunya marah. Ia segera melirik arlojinya lagi. “Demi Tuhan! Kau membuatku terlambat!” lalu ia berlari lagi.
Sang gadis memegang dagunya. “Sepertinya... aku pernah melihatnya...” ia terdiam. Sedetik kemudian, matanya melebar. “Aa... aaa... i-itu... tidak mungkin dia... kan? Inoo... Kei...?”
***
Tiga orang pria berumur sekitar 20 tahun duduk melinkari meja di tengah mereka. Yang satu bertubuh pendek dan gempal. Sesaat, ia terlihat seperti pinguin. Di sebelahnya, seorang pria dengan gigi gingsul tengah menyesap teh hijaunya. Sesekali, iamencuri Pocky milik si pinguin. Sementara yang satu lagi, seorang pria dengan tubuh super kurus. Si kurus hanya memasukkan kakinya ke dalam selimut yang entah dari mana asalnya. Si pinguin yang melihat jatah Pockynya berkurang melirik curiga pada si gingsul.
“Bukan aku!” seru si gingsul. Entah sadar atau tidak, ia memperlihatkan giginya yang berlumuran coklat Pocky. Eeewww.
“Lalu cokelat di gigimu itu apa, YAROtome Hikaru?!” dengus si pinguin, kesal.
“Namaku Yaotome Hikaru, dasar Pinguin!” Hikaru mencubit kedua pipi gemuk temannya.
“Dan namaku Daiki Arioka, dasar gigi ajaib!” Daiki balas mencubit pipi Hikaru yang... well... tidak seempuk pipinya.
“Bisakah kalian diam?” tanya si kurus—yang diketahui bernama Yabu Kota—dengan kepala yang terkulai di atas meja.
“DIAM KAU, KEREMPENG!” seru Daiki dan Hikaru bersamaan.
“A-apa?! Hei! Aku—”
BRAK!
Suara pintu yang dibuka paksa memotong omongan Yabu. Dan seorang pria cantik berdiri terengah di ambang pintu. Peluh yang menghiasi dahi ,ulusnya sepertinya cukup untuk membuat mereka menelan kembali pertanyaan “Kenapa kau terlambat?” yang sedetik lagi akan lolos dari bibir trio itu.
“Biar kutebak.” Sang ping—maksudku Daiki memecah keheningan. “Kau tertidur saat berendam di kamar mandi?”
“Atau terlalu asyik menggambar?” tanya Yabu.
“Atau... terlalu asyik berkencan dengan wanita yang kau temui saat konser Summary tahun lalu?” goda Hikaru.
“Sungguh, kau berbakat jadi paranormal, Hikaru.” Pria itu berjalan menuju mejayang didiamin oleh trio JUMP tersbut.
“Jangan ragukan instingku yang tajam ini, Inoo.” Hikaru membusungkan dadanya, bangga.
“Bukannya gigi gingsulmu yang tajam?” tanya Daiki polos.
“Sial kau, pinguin cebol.” Hikaru merebut bungkus Pocky Daiki dan memasukkan tiga batang sekaligus ke mulutnya.
Daiki terlihat pasrah. Namun, dalam hati, ia bersumpah akan menusuk ban mobil Hikaru dengan paku nanti.
“Hei, cantik, kau terlihat kesal.” Goda Yabu. “Ada apa?”
“Memanggilku seperti itu, kujamin kau tidak akan pulang dengan anggota tubuh yang utuh.” Ancam Inoo, kemudia menyandarkan kepalanya kemeja. “Ada seorang anak kecil yang menanyaiku ‘kau wanita?’ dengan polosnya.” Dengus Inoo.
Mereka terdiam.
“HA! Hahahaha!” dan—seperti yang Inoo duga—mereka tertawa.
“Urusai!” seru Inoo.
“Kau... hahaha... pantas mendapatkan pertanyaan itu, Inoo.” Kata Yabu di sela tawanya.
Sebuah tamparan mendarat telak di pipi Yabu.
“Haaaaahh... harusnya hari ini aku menghabiskan waktuku dengan Iruma-chan.” Gumam Inoo sambil memikirkan gadis yang menjadi pacarnya sejak konser Summary tahun lalu.
***
Sementara itu, di sudut lain kota Tokyo, seorang perempuan bertubuh proporsional dengan rambut coklat bergelombang tengah bergelayut manja pada laki-laki di sebelahnya. Rasa cintanya pada fashion mengalahkan dinginnya udara yang menyerang kakinya yang hanya memakai sepatu boots putih dengan paduan rok pink selutut.
“Neeee... Yamada-kun, aku mau itu.” tunjuknya pada sebuha kalung berlian yang dipajang di etalase toko.
“Apapun untukmu, Iru-chan.” Ucap Yamada sambil mencium kening sang gadis dan menariknya masuk ke toko.
Sang gadis tersenyum.
***
Bruk!
Untuk kesekian kalinya, pria itu terjatuh. Sontak, delapan member JUMP yang lain menghentikan tari mereka dan menolehkan kepala kearah Inoo yang tengah jatuh terduduk. Raut mereka sama: bingung. Salah satu dari mereka, seorang member JUMP bertubuh pendek yang bernama Morimoto Ryutaro, memencet tombol stop pada tape di pojok ruangan, mengakibatkan lagu OVER yang baru-baru ini keluar sebagai single mereka berhenti mendadak.
Yabu berjalan mendekati Inoo. “Kau baik-baik saja?”
“Ya… aku hanya merasa… sesuatu yang buruk.” Gumam pria cantik itu, lebih kepada dirinya, sambil mencoba untuk berdiri.
“Dan kutebak, itu tentang Iruma, benar kan?” Tanya Hikaru sambil memamerkan deretan giginya yang… ehm… berantakan.
“Aku tidak tahu.” Inoo berdeham. “Tapi sepertinya begitu.” Ia berjalan ke sebuah meja dan mengambil sebotol air mineral. “Hei, dimana bocah strawberry itu?”
“Yama-chan?” Tanya Yuri Chinen. Mendapat anggukan dari rekannya, pemuda bergigi kelilnci itu melanjutkan. “Katanya ia akan sampai beberapa saat lagi.”
“Oh ya?” dengus Yabu. “Kapan kau terakhir meneleponnya?”
Chinen terlihat berpikir. Ia meletakkan jari telunjuknya di dagu dan menatap ke atas. Kepalanya dimiringkan 45º ke kiri. Satu kata: kawaii. “Sekitar… sejam yang lalu.” Memang, tidak ada yang bisa menandingin keimutan member JUMP termuda kedua—sementara yang pertama dipegang oleh Ryu.
“Telepon lagi.” Perintah Yabu cepat.
Chinen segera memencet beberapa tombol di telepon genggamnya sebelum menempelkan benda merah itu ke telinganya. “Halo? Hei, Yama—” Ia diam sejenak. “Apa? … H-hei! Dengan siapa kau? Aku mendengar suara anak perempuan.” Terdengar suara penjelasan Ryo yang memelas. Chinen memajukan bibirnya. Ini bukan karena Chinen cemburu atau apa. Ingat, ini bukan cerita yaoi. “Yayaya… cepatlah datang kesini.”
“Apa katanya?” Tanya Inoo sesaat setelah benda merah itu tak lagi berada di telinganya.
Chinen menghela napas. “Katanya… ia sedang ada di jalan, mengantar pacarnya.”
“Eh? Yama-chan punya pacar?” Tanya Nakajima Yuto.
“Akan kubunuh bocah strawberry itu.” Gumam Yabu kesal.
***
29 Januari, 2011…
“Jangan lari kau, bocah sialan!” seorang wanita tua dengan gaun maid dan rok putuh panjang yang sudah tidak cocok lagi untuknya. Pandangannya matanya terkunci pada seorang gadis di depannya yang tenggah berlari.
“Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!” teriak gadis itu sambil berlari. Namun, di wajahnya terukir tawa bahagia. “Hahahaha!” sang gadis menambah kecepatan larinya.
Melihat itu, sang maid tua hanya berdecih dan mempercepat tempo larinya. Ia merogoh walkie-talkie di sakunya dengan tidak sabar. “Di persimpangan ketiga!” katanya pada walkie-talkie itu. Sementara yang jadi balasan adalah suara yang bisa di bilang tidak jelas. Wanita itu mengangguk sambil memasukkan kembali walkie-talkienya ke dalam saku. Maid tua itu berhenti ketika dilihatnya sang buruan telah lepas dari pandangan.
Sementara itu, sang gadis malah tertawa riang ketika dirasanya ancaman yang sedari tadi mengejarnya sudah tidak ada. Ia merentangkan kedua tangannya, merasakan angin dingin. Tidak peduli dengan tatapan beberapa orang yang merasa terganggu karena ulahnya.
Rambut hitamnya dibiarkan tertarik ke belakang, dibawa angin. Apalagi trotoar sore itu tidak terlalu ramai. Lagipula siapa juga yang mau merepotkkan diri dengan memakai baju tebal? Mereka lebih memilih bersantai di depan perapian sambil menyesap kopi. Jadi ini yang namanya kebebasan? Batin gadis itu. Menyenangkan!
“Nah, nah… mau kemana, nona?” sebuah suara berat di depannya membuat sang gadis berhenti berlari. Saat mendongak, ia mendapati seorang yang berbaju pelayan—vest coklat dengan kemeja putih—tengah bertolak pinggang sambil mengeluarkan aura neraka—walaupun wajahnya menampakkan senyum manis. Tidak mendapat respon dari sang gadis, pelayan itu menggamit lengan sang gadis dengan lembut dan menuntunnya menuju mobil. “Seharusnya anda tidak kabur, nona.”
“Dan membiarkan diriku mati bosan?” sang gadis memutar bola matanya.
“Aunt Rachel hanya ingin anda—”
“Berhenti!” pekik gadis yang duduk di belakang. “Berhenti membicarakan wanita itu di depanku, Drachen! Dia hanya ingin mengambil hartaku. Setelah hartaku habis, ia akan pergi. Cih! Wanita jalang itu.”
Drachen, sang pelayan, hanya bisa tersenyum masam. Ia sudah mengurus sang nona sejak gadis itu belum lahir. Ia sudah tahu tabiat sang majikan. Ia sudah tahu majikan mungilnya itu membenci Aunt Rachel yang sejak beberapa bulan lalu menjadi walinya, menggantikan kedua orang tuanya yang wafat karena kecelakaan pesawat beberapa waktu lalu.
Dia, Jei Loire. Anak pertama dan satu-satunya dari keluarga Loire. Ibunya berasal dari Jepang, ayahnya memiliki darah Perancis. Tidak heran anaknya semanis ini. Perpaduan Asia dengan Barat. Gadis itu di anugerahi kecantikan ibunya. Rambut hitam yang menjuntai menyentuh pinggang di padukan dengan kulit sepucat bulan. Mata safirnya yang bulat dan besar seolah dapat menarik siapapun untuk melihatnya lebih lama. Safir pun akan terlihat redup bila dibandingkan dengan irisnya. Apa? Kau menganggap kata-kataku hiperbola? Tapi memang begitu keadaannya. Dilihat dari fisiknya, orang-orang pasti menganggapnya sebagai anak kelas 1 SMP. Padahal, usianya kini menginjak 18 tahun. Tidak perlu kusebutkan berapa tingginya. Aku tidak terlalu suka menyebar kekurangan orang lain.
Ia kehilangan kedua orang tuanya dalam kecelakaan pesawat dua hari sebelum natal tahu lalu. Saat itu, entah kenapa Jei tidak menangis. Ia tetap tersenyum ketika kerabat atau teman orang tuanya menyampaikan pernyataan duka. Satu hal yang diakgumi Drachen: anak itu tegar. Dibalik tubuhnya yang kecil, anak itu mempunyai ketegaran sekeras batu. Dan Drachen tahu, semua ketegaran itu bukanlah topeng. Karena ia telah mengasuh sang nona besar keluarga Loire sejak kecil, ia tahu semuanya. Ia tahu ketika Jei berbohong.
Ditatapnya sekilas sang nona di bangku belakang. Sesaat, ia terpana dengan kedua iris biru yang memantulkan pemanfangan gedung-gedung pencakar langit di luar. Matanya seperti laut yang memancarkan matahari. Begitu mempesona, menyilaukan. Bibir merahnya yang mungil mencebik keluar disertai beberapa sumpah serapa seperti, “Dasar maid-maid tidak tahu diri!” atau “Akab kubuh si tua Rachel itu!”. Berusaha menahan tawa, Drachen akhirnya kembali memperhatikan jalan. Ia menginjak pedal rem tepat di depan sebuah rumah megah bergaya eropa. Sementara Jei dibelakang semakin bersemangat melontarkan kutukan dan sumpah serapah untuk sang bibi.
***
31 Januari, 2011…
Hey! Sekai wa ichi? Ni?
Sankyuu to na kimi wo nosete
Hey! Sekai no ashita asate shiasette ni tsudzuku yo
Wandanamuru WONDERFUL
Terenaide, TERIMA KASIH
(Arigatou ~Sekai Doko ni Itemo~ — Hey! Say! JUMP)
Lantunan demi lantunan nada yang dikeluarkan 10 personil JUMP berhasil menghipnotis [ata fangirl di depan mereka. Tidak perlu kuberitahu apa yang sedang mereka lakukan, kan? Oh ayolah, masak kau tidak tahu mereka sedang mengadakan konser? Riuh gemuruh teriakan fangirl menggema di Tokyo Dome melam itu. Di bawah siraman cahaya lampu stage, Inoo tersenyum bahagia seraya bernanyi. Semua bebannya, kekesalannya, hilang ketika berada di atas panggung, menghibur para penggemarnya. Bukankah bagi seorang penyanyi, fans adalah harta berharga mereka? Satu lagu usai, serentak mereka menghentikan tarian mereka dan kembali ke belakang panggung.
“Kutanya, dari mana saja kau, Ryosuke Yamada?” cecar Yabu Kota, sang leader. “Datang lima menit sebelum konser mulai itu hal yang tidak biasanya kau lakukan.”
“Anooo… berkencan.” Yamada menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. “Hehehe… gomen, minna-san.”
“Neeeeee… jadi si bocah strawberry ini sudah punya pacar?” goda Yuto sambil menyikut bahu Yamada. “Kenapa tidak kau kenalkan pada kami?”
“Dan membiarkan kalian meminta traktiran?” dengus Yamada, berpura-pura kesal.
“Cih! Rencana kita ketahuan rupanya.” Gumam Keito yang disambut sikutan dari Yuto ditambah dengan cengiran neraka dari Hikaru.
“Oh ayolah.” Paksa Chinen dengan jurus andalannya: puppy eyes.
“Baiklah, baiklah. Hentikan tatapanmu itu, Chinen.” Seru Yamada sambil tertawa. “Sebetulnya… dia ada disini.”
“EEEEEEHH?!” 9 member JUMP lain berteriak seakan mendengar gossip bahwa Ohno Satoshi ternyata istri simpanan Johnny—pemilik Johnny Entertainment. Oke, fans Ohno. Jangan melemparku dengan garpu atau apapun itu ditangan kalian.
“Iya. Sebentar ya, aku panggilkan.” Sesaat setelah mengucapkan itu, Yamada pergi dengan langkah riang.
“Tidak kusangka bocah gembul itu akan tumbuh dewasa.” Inoo tertawa, disusul member yang lain.
“Kau kapan?” Tanya Hikaru.
“Apanya?”
“Kapan kau akan memperkenalkan kekasihmu pada kami? Yang tahu kekasihmu kan hanya aku, Yabu, Daiki, Chinen dan… oke, semuanya kecuali Keito, Yamada dan Ryu.
“Nanti sajalah.” Jawab Inoo santai.
Tidak berapa lama, bocah itu kembali dengan seorang perempuan manis dengan tubuh proporsional. Sang gadis terlihat meronta dalam genggaman Yamada. Namun, tenaga laki-laki tentu lebih kuat dari perempuan.
“Nah, minna! Ini kekasihku!”
Yabu melotot seketika.
Chinen dan Yuya mengikuti jejak Yabu.
Daiki berhenti memakan Pockynya.
Yuto memasang tampang horror.
Hikaru menyemburkan air minumnya.
Ryu dan keito hanya memandang heran pada senior-seniornya.
“Tuh kan! Mereka terpesona dengan kecantikanmu.” Canda Yamada.
Tidak ada yang tertawa, jika kau mau tahu situasinya.
Hikaru menepuk-nepuk pundak Inoo yang sedang iseng menyusun gelas plastic hingga berbentuk piramida. Merasa ternganggu, Inoo menoleh dan melebarkan matanya. Di perhatikannya sang gadis yang familiar baginya. Rambutnya… rambut yang sangat ia kenal. Rambut lembut yang sering ia sentuh.
“Iruma…?” tulang kakinya terasa seperti jelly sekarang. Begitu lembek. Ia menghampiri sang kekasih dengan tatapan terluka. Siapapun pasti akan merasa bersalah ketika melihat tatapan itu. “Kau…” suaranya bergetar, menahan emosi yang berusaha keluar.
“T-tidak, ini… ini…” Iruma menunduk. “Maafkan aku, Inoo-kun.”
Inoo terdiam sejenak, sebelum tawanya meledak. “Ha! HAHAHAHA! Selama ini ada perempuan yang menduakanku dan aku tidak tahu? Betapa bodohnya aku!”
Sementara 8 member JUMP lain yang melihat Inoo tertawa seperti orang gila bingung harus ikut tertawa atau tidak.
“Haha… ha…” pria cantik itu terdiam.
Kesal. Kesal. Kesal. Kesal. Kesal. Dan… emosi. Itu yang ada di pikirannya sekarang. Ia mundur beberapa langkah, tida menyadari tumpukan kardus di belakangnya. Alhasil, ia terjatuh menimpa kardus-kardus kosong itu. Masih dengan tatapan penuh luka, ia berusaha bangun. Berusaha menahan kepalanya yang panas.
“Kau…” tuding Inoo pada Iruma. “Wanita jalang!” lalu ia berlari keluar dari Tokyo Dome.
“Inoo! Tunggu!” kejar Hikaru yang diikuti oleh Yabu.
Pria bergigi gingsul itu menarik tangan Inoo dengan kesal. Dibalikannya badan sang rekan. Kedua pria berambut coklat tersebut terperangah melihat wajah Inoo yang kacau. Air mata yang merembes keluar dari kedua mata coklatnya, wajah yang memerah berusaha meredam amarah.
“Inoo…” lirih Yabu. Sambil memegang pundak Inoo, mencoba menenangkan.
“Sekarang kalian tahu kan betapa bodohnya aku?” Tanya Inoo sambil menatap manik mata di hadapannya bergantian. “Lepaskan aku.”
“Tapi…”
“Kubilang lepaskan aku, yaro!”
Dengan sekali sentakan, Inoo berhasil meloloskan diri dari belenggu tangan Hikaru. Seperti orang gila, ia melarikan dirinya ke jalan. Berusaha meraih trotoar di seberang. Namun, sepertinya sang takdir belum puas menari diatas benang hidupnya. Sebuah truk menabraknya.
“INOO!” teriak dua sahabatnya itu.
Dengan tanpa dosa, truk itu melaju lagi. Seolah ia hanya melindas seekor tikus. Yabu menggenggam tangan Inoo dengan tatapan nanar. Di perhatikan inci demi inci tubuh penuh darah di bawahnya. Kondisinya mengerikan.
“Yabu…” tangis Inoo. Cairan merah kental memenuhi mulutnya. “Yabu…”
“HIKARU! Cepat panggil ambulans!” seru Yabu dengan panik. “Cepat, Hikaru!”
“H-hai!” dengan tangan gemetar, Hikaru mengambil telepon genggamnya. Setelah berbicara sebentar pada orang di seberang—yang sepertinya pegawai rumah sakit mengingat tidak mungkin ia menelepon ibunya di saat seperti ini—ia memutuskan sambungannya dengan wajha gugup. “Katanya mereka akan datang sebentar lagi.”
Sementara itu, Inoo terus menangis sambil memegangi kedua kakinya. “Yabu… Hikaru…” kedua sahabatnya menoleh.
“Aku… tidak bisa merasakan kakiku…”
***
1 Februari, 2011…
Kedua orb safir biru itu enggan melepaskan pandangannya dari layar kaca. Mulutnya menganga tidak percaya mendengar berita yang disiarkan. Cangkir porselen mahal di tangannya meluncur bebas, mengagetkan maid serta para pelayan yang tengah menemaninya di ruangan itu. Drachen, yang berdiri paling dekat dengan Jei, menepuk bahu sang nona dengan khawatir. Namun, gadis itu tetap tidak bergeming. Lidahnya kelu. Ia tampak seperti patung—dengan ekspresi horror sebagai tambahan.
“Nona?” Drachen berusaha menyadarkan Jei. Disentuhnya sekali lagi pundak kecil nan ringkih itu.
Jei tertawa. Matanya masih membelalak. Satu hal yang bisa dipastikan, ekspresi itu membuat eksistensi-eksistensi di ruangan itu bergidik ngeri. Mereka mengira sang nona dari keluarga Loire mendadak gila.
“Hahahaha! Ini pasti mimpi!” suara tawa yang keluar terdengar lebih parau dari perkiraannya. Ia melipat kedua tangannya di depan dada, seolah menunggu sesuatu. “Cepat atau lambat aku pasti akan bangun.”
Drachen menatap sang nona dengan bingung. Kini, ia yakin ada yang salah dengan otak Jei. “Nona?” panggilnya lagi. “Apa maksud anda?”
Jei melempar pandangannya pada televisi dengan pandangan mencemooh. “Penyiar itu,” ia menunjuk seorang perempuan yang tengah membacakan berita, “ia mengatakan bahwa Inoo Kei mengalami kecelakaan.”
Ia tahu betapa sang nona sangat mengagumi sosok Inoo Kei, seorang penyanyi, member dari salah satu boyband Jepang, Hey! Say! JUMP.
“Tapi, nona…” Drachen terlihat enggan meneruskan kata-katanya. Namun, Jei menghadiahinya dengan pandangan menuntut. “Ini… bukan mimpi.”
“Inoo Kei, seorang penyanyi muda berusia 20 tahun, mengalami kecelakaan…”
Satu pukulan telak di hati Jei.
“...Ia ditabrak oleh truk…”
Dua pukulan telak untuk batinnya.
“...Dan karena kecelakaan itu, kedua kakinya terpaksa diamputasi.”
“Kau tidak membohongiku kan, Drachen?”
***
12 Juni, 2011…
Empat bulan lebih telah berlalu sejak berita menghebohkan itu. Inoo, pemuda cantik itu, mengundurkan diri dari JUMP dan memilih untuk menenkuni bakatnya yang lain di bidang aristektur dan dekorasi. Kalian bertanya-tanya mengapa ia dengan mudahnya berkata ingin keluar? Inoo tidak mau merepotkan member-member lain yang harus menjaganya setiap saat karena fisiknya yang sekarang. Tubuh yang dulu sempurna kini telah kehilangan kedua kakinya. Dan wajah yang udlu tampak menawan dengan senyum, kini diganti dengan wajah tanpa ekspresi, tanpa harapan hidup. Pikirnya, untuk apa hidup jika hanya bisa merepotkan orang lain? Walaupun sesungguhnya, mereka tidak pernah merasa direpotkan. Mereka memaklumi keadaan Inoo yang sekarang.
Sore yang dingin dan kelabu. Rintik-rintik hujan masih terasa di pergelangan tangan pucat itu. Hujan baru saja berhenti beberapa menit lalu, meninggalkan jejaknya di dedaunan. Inoo menggerakan kedua roda kursinya dengan pandangan jengah. Ia bosan hidup seperti ini. Menggantungkan diri diatas dua buah roda. Tadi, sang ibu menyuruhnya untuk berjalan-jalan sebentar keluar. Hitung-hitung untuk member warna pada kulitnya yang lebih mirip mayat. Dan ia memilih untuk berjalan-jalan di taman di dekat rumahnya.
Ia menghentikan laju rodanya di samping sebuah kursi kayu. Kursi yang dulu sering dipakainya. Diliriknya seorang gadis yang sedang duduk di kursi itu. Sepertinya orang asingbatinnya. Lekuk wajah yang bagus, namun matanya tertutup oleh poni panjang—tidak, Inoo yakin ia bukan orang beraliran emo atau apa. Dan… apa itu ditangannya? Buku dongeng?
Merasa diperhatikan, gadis itu menoleh. Sang coklat tertawan oleh indahnya safir. Wajah mungil dengan kulit sepucat bulan, rambut sekelam malam, bibir yang semerah mawar. Apakah ini artinya Inoo tertawan oleh gadis di hadapannya? Sepertinya begitu. Pria cantik itu menggelengkan kepalannya dan kembali memasang wajah dinginnya—yang sejak 4 bulan lalu menjadi trademarknya.
“Tidak baik untuk seorang anak kecil berada sendirian di taman.” Inoo menyandarkan punggungnya. “Dimana orang tuamu?”
Namun, tidak ada kata balasan dari sang gadis. Penasaran, ia menolehkan kepalanya. Dilihatnya sang safir yang menatapnya dengan pandangan campur aduk. Antara terkejut, kagum, tidak percaya dan… mengidolakan? Bibirnya menganga lebar.
“Kau… Inoo Kei?!” pekik gadis itu. Ia mulai bersikap bodoh sekarang. Tangan kirinya menutup mulut sementara tangan kanannya menunjuk-nunjuk Inoo. Ia berdiri dari kursi dan melonjak-lonjak senang. Sesekali ia menatap Inoo lalu kembali menatap langit kelabu.
“Apa ini karena perkembangan jaman atau memang gadis ini agak… gila?” gumam Inoo dengan mata yang mengarah pada sang gadis dengan tatapan apa-kau-sinting?
“Hei! Aku dengar itu!” seru sang gadis yang kemudian menatap Inoo dengan kesal. Cepat sekali berubah ekspresinya. “Dengar, aku ini penggemarmu! Penggemar beratmu! Oh! Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu!”
Inoo tertawa merendahkan. “Huh? Kukira setelah kehilangan kedua kakiku, aku juga akan kehilangan fansku.” Ia mengingat kembali bagaimana para fans yang lama-kelamaan menjauhinya.
“Tidak!” pekik gadis itu. Karena terlalu senang, ia tidak menyadari volume suaranya yang terlalu keras. Biar. Toh tidak ada yang memprotes, benar? “Aku… aku berbeda dengan fans-fansmu yang lain. Aku akan selalu menjadi fansmu!”
Percaya atau tida, ada sedikit rasa senang di hati Inoo. Namun, dengan baik ia menyembunyikannya. “Jangan bodoh.” Dengus pria itu. “Kau sama saja dengan yang lain.”
“Tidak! Tidak!” gadis itu menggeleng cepat. “Percayalah, aku akan selalu mengidolakanmu!”
Inoo menatap sang gadis dengan jengah. Yah, semua juga berkata begitu. Tapi lihat sekarang. Tidak ada lagi fans yang mengerebutinya. Maka, ia sudah muak dengan janji-janji semacam itu. Mereka semua mengatakan itu hanya untuk menghibur Inoo, untuk membuatnya merasa nyaman. Dan ketika Inoo sudah berpegangan pada janji-janji semu mereka, mereka akan berbalik pergi. Sungguh, janji itu sesuatu yang mengerikan.
“Urusai…” bisik Inoo. Ia menatap tempat dimana kedua kaki itu harusnya berada. “Jangan membuatku percaya lagi dengan yang namanya janji.” Suaranya hanya berupa deru angin.
Sang gadis terdiam, menunduk. “Kumohon… bernyanyilah lagi…”
Mereka terdiam.
“Siapa namamu?” Tanya Inoo.
“Jei. Jei Loire.” Jawab Jei dengan binar di matanya.
Ditemani angin dingin yang berhembus, dibawah naungan mangkuk kelabu, kedua eksistensi itu menikmati keheningan.
***
12 Juni, 2011…
Drachen menatap sang nona yang sedang tertidur pulas. Tubuh mungilnya tersembunyi dibalik helaian selimut putih. Tubuh mungil yang rapuh, tubuh mungil yang tegar. Sampai kapan ia akan menderita seperti ini? Batin Drachen dengan tatapan sendu. Diusapnya rambut Jei. Gadis itu menggeliat pelan.
“Nona… nona…” bisik Drachen. “ Sampai kapan kau harus menanggung ini?”
“Inoo… bernyanyi… laaaahh…” gumam Jei dalam tidurnya.
Drachen tersenyum tipis mendengar igauan sang nona. Setelah membersekan selimut, pria itu mematikan lampu kamar lalu melangkah keluar dari kamar Jei.
***
14 Juni, 2011…
“Hei.” Panggil sebuah suara di samping Jei.
Sore itu, selang dua hari setelah pertemuan pertamanya dengan Inoo, Jei berkunjung lagi ke taman itu. Tentu masih ditemani oleh buku bertajuk “1001 Dongeng Dunia”. Sebuah buku tebal yang lebih mirip buku sihir daripada buku dongeng.
Merasa ada yang memanggilnya, Jei menoleh. Orb safirnya membelalak, wajahnya memanas seakan ia berdiri tepat di depan pemanas. Jantungnya… jantungnya terasa memukul-mukul dadanya, memaksa untuk keluar. Dalam beberapa detik, Jei hanya terdiam dengan tampang bodohnnya.
“Hei, hei!” pria itu mengibaskan tangannya di hadapan wajah Jei yang merona dengan mulut terbuka. Ekspresi yang konyol. “Ada yang salah denganku?”
“Hah?” Jei kembali pada kesadarannya. “Hah? Oh, eh… tidak.” Ia menyembunyikan wajahnya dibalik helaian rambut. “Aku hanya terkejut melihatmu disini.”
“Terkejut?” Tanya Inoo dengan nada tersinggung. “Memangnya aku menakutkan?”
“B-bukan begitu!” sergah Jei panik.
Inoo terdiam dengan tatapan sinis. “Pffffftt!” dan tawa pun meledak. “Aku hanya bercanda! Jangan memasang tampang bersalah seperti itu. Terlihat seperti orang bodoh, kau tahu?”
“Ah!” mata Jei membola seketika. “Kau! Kau tertawa! Kau tertawa, Inoo! Waaaa! Inoo tertawa!” serunya heboh.
Inoo segera menutup mulutnya dengan sebelah tangan. “M-memangnya kenapa kalau aku tertawa?”
“Aku… hanya senang bisa melihatmu tertawa lagi.” Desah Jei dengan pandangan menerawang. Dimatanya terpantul langit sore sementara di wajahnya terukir garis lengkung. Senyum.
“Ini pertama kalinya aku melihatmu tersenyum.” Ujar Inoo sambil mengeluarkan senyum lembutnya. Senyum yang dulu digilai para wanita. Yah, memang saat pertemuan pertamanya, Jei tidak tersenyum, bukan? Gadis itu hanya melonjak-lonjak senang dengan mulut menganga. Dan perlu dicatat, menganga itu berbeda jauh sekali dengan tersenyum. “Dan kau… terlihat… ehm, manis…”
Mendengar itu, rasanya seluruh darah di tubuhnya mengalir ke kepala. Wajahnya memerah. “T-terima kasih.” Jei menggerak-gerakkan kedua kakinya yang tidak menyentuh tanah—bukan, dia bukan hantu. Itu karena faktor tinggi badan.
“Kau… anak SMP?” Tanya Inoo.
“E-eh?!” Jei tersentak, ia terkejut. Hidungnya mengernyit tidak suka. “Enak saja! Aku sudah berumur 18!”
“Eh?!” kini giliran Inoo yang terkejut. “Benarkah?! Tapi…”
“Ya… aku tahu.” Jei mengerucutkan bibirnya.
Inoo memutar kursi rodanya dan berhenti tepat di hadapan Jei. Dengan polos—seolah apa yang ia lakukan adalah hal biasa—ia mengelus rambut hitam itu. Halus. Seperti untaian-untaian sutera. Iris coklatnya menelusuri sang safir, membiarkan dirinya tenggelam dalam lautan biru yang menghipnotisnya. Indah, sungguh indah. Sadar atau tidak, tatapan mata Inoo terlihat seperti tatapan orang memuja. Ya, ia begitu memuja gadis yang ditemuinya dua hari lalu. Pada pertemuan pertamanya, ingatan tentang sang gadis masih terbawa sampai rumah. Seperti sang pangeran telah menemukan putrinya.
“Kau… sungguh sempurna.” Puji Inoo. Entah ia dalam keadaan sadar atau tidak.
“A-ap…” wajah Jei yang sudah merah, kini semakin memerah. Seperti kepiting rebus yang dilumuri cat merah. Ih, siapa yang sudi memakan kepiting itu? Oh, kembali ke cerita.
“Kau juga tidak cacat sepertiku.” Mata sang coklat masih tenggelam diantara indahnya biru safir.
Jei tersentak. “Tidak ada manusia yang tidak cacat, Inoo.” Dahinya mengernyit.
“Kau beda, Jei.” Nadanya begitu lembut. Beda dengan suara pada pertama mereka bertemu. Begitu kasar dan dingin.
“Bagaimana kalau aku tidak sempurna?” bisiknya lirih.
“Apa maksudmu?”
“Aku tidak sempurna, Inoo.” Ia menundukkan kepalanya.
“Apa yang tidak kau miliki?” Tanya Inoo, masih mengelus untaian benang hitam di kepala Jei. “Kau manis, kau cantik. Dan aku tahu, kau berasal dari kalangan atas.”
“Bukan itu yang disebut kesempurnaan!” seru Jei. Ia berdiri dan menatap Inoo. Tatapannya… entah kenapa tidak bisa diartikan. Tatapan tanpa arti yang penuh arti. Bingung? Yah, memang. “Kesempurnaan bukan hanya dilihat dari fisik atau materi!”
Inoo terperangah melihat Jei. Apakah ia mengatakan sesuatu yang salah? Oh, jika ia mengetahui yang sebenarnya, ia pasti menyadari kesalahan itu.
“Hei!” seru Inoo ketika sang gadis berlari menjauhinya. “Hei! Maaf!” walaupun ia tidak tahu apa yang salah.
Namun, sang malaikat tanpa sayap itu telah menutup telinganya.
***
20 Juni 2011…
“Cepat panggilkan ambulans!” seru Drachen. Di tangannya, tergolek Jei dengan kondisi lemah.
“Baik!” salah satu maid segera menyanbar telepon terdekat.
“Kenapa? Kenapa kau membiarkannya, nona?” ditatapnya wajah Jei dengan pandangan nanar.
***
21 Juni, 2011…
Beberapa hari setelah kejadian itu. Inoo tidak pernah melihat Jei lagi. Meskipun ia datanga ke taman itu setiap hari. Pria cantik itu mencoba menikmati sore tanpa sang gadis. Namun, entah kenapa suasana berubah menjadi lebih dingin. Walaupun sekarang masih kelabu seperti kemarin. Ia baru sadar bahwa gadis sepucat bulan itu membawa kehangatan untuknya.
Saat Inoo sedang duduk di tempat biasa—tempat pertama kali ia bertemu Jei—seorang pria berjas hitam menghampirinya. Wajahnya tampang dengan rmabut coklat terang yang disisir ke belakang. Matanya sendu, meredupkan cahaya sang mutiara hitam dibalik kelopak matanya. Ia menggenggam sepucuk surat.
“Inoo Kei?” Tanya pria itu setelah langkahnya terpaut empat langkah dari Inoo.
Inoo mengangguk. “Anda siapa?”
“Aku Drachen, pelayan keluarga Loire.” Mendengar nama itu, Inoo tersentak. Matanya melebar. “Nona menitipkan surat ini untukmu.” Drachen menyerahkan surat di tangannya.
Disambutnya surat itu. Perasaan tidak enak menyergapinya. “Apakah kau tahu dimana Jei?” Tanya Inoo ketika Drachen mengambil langkah ketiga.
Namun, yang menjadi balasan hanya sebuah tatapan sendu.
***
Inoo,
Hei. Halo. Apa kabar?
Semoga kau baik-baik saja.
Oh, ayolah! Kenapa harus seformal ini?!
Hehehe… hai, Inoo. Kau pasti bertanya-tanya dimana aku, bukan? (huh? Percaya diri sekali aku!)
Kau tidak perlu khawatie, hei Pretty Prince!
Aku sedang ada urusan sebentar. Aku janji! Setelah urusan ini selesai, aku kan menemuimu!
Aku yakin kau rindu denganku, bukan begitu?
Hei, soal yang waktu itu… aku minta maaf.
Hanya… terbawa sedikit emosi. Hehehe…
Nah, Inoo. Jaga dirimu baik-baik ya!
Aku ingin mendengar kau bernyanyi lagi.
Menari bersama member JUMP yang lain, mengumbar senyum pada fans-fansmu.
Aaaahhh… aku rindu saat-saat itu.
Hehehe…
Ne, Inoo. Jika aku tidak bisa menemuimu, kumohon jangan lupakan aku!
Oke?
Sayonara…
Jei Loire
***
Inoo meremas surat itu dnegan kesal. Apa-apaan ini?! Batinnya. Ini sih seperti surat perpisahan! Dibukanya kembali bola kertas itu.
Aku ingin mendengar kau benryanyi lagi…
Sepatah kalimat dari surat itu terngiang di telinga Inoo.
“Bernyanyi, huh?”
***
Say goodbye kyou no hi no minna ni
Wakare wa mata au yakusoku na
Kokoro hitotsu ni naru shunkan wo
Kasaneru tabi ni ai ga umareru
Lagu Thank You ~Boukutachi Kara Kimi e~ milik Hey! Say! JUMP mengalun dari mulut mereka. Mereka yang berada di tempat yang berbeda.
“Perdengarkan nyanyianmu…” ucap Jei disela isaknya.
“Dengarkan nyanyianku…” lirih Inoo.
***
22 Juni, 2011…
Sore yang muram. Gereja yang berdiri di tengah hujan tersebut menyiratkan duka. Sama halnya dengan tatapan seorang pria berkursi roda di dalamnya. Ditatapnya kayu bercat putih itu dengan nanar. Pandangannya mengabur, dihalangi oleh tirai air yang menggantung di matanya.
Kenapa ia tidak pernah bilang padaku? Batin Inoo. Kenapa ia menyembunyikan ini dariku?!
Pandangannya terpaku pada gadis di dalam peti itu. Tenang, damai. Ya, gadis itu tertidur dengan damai. Terlalu damai hingga matanya tidak bisa terbuka lagi. Ia meletakkan sebatang mawar biru diatas tubuh gadis itu sebelum mendorong kursi rodanya menjauh.
Jei, gadis itu menderita lemah jantung sejak kecil. Ia tidak bisa bertahan lama. Jei gadis yang tegar, gadis yang suka kebebasan. Dan ia tidak suka dirawat di rumah sakit, dikekang dengan selang-selang infus merepotkan. Maka dari itu, ia selalu menolak jika di sarankan untuk melakukan perawatan. Dan ketika kondisinya kritis, dokter menyarankan untuk menjalankan operasi walaupun presentase keberhasilannya sangat kecil. Dan… akhirnya sudah bisa ditebak, bukan?
Aku janji! Setelah urusan ini selesai, aku akan menemuimu!
“Mana janjimu, bodoh?”
Aku ingin mendengar kau bernyanyi lagi!
“Kau bahkan tidak mendengar nyanyianku untuk yang terakhir!” seru Inoo, frustasi.
Sayonara…
“Apa maksudmu, Jei?” Inoo menahan tangisnya. “Inikah hadiah ulang tahunmu untukku?”
Dibalikannya surat ditangannya. Matanya memanas ketika melihat tulisan yang tertera. 9 huruf sederhana namun dapat membuat Inoo mengeluarkan air matanya.
Aishiteru…
~Owari~
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
*ngeliat fanfic diatas* a-akhirnya beneran di publish.. 0////0
huwaaaaaaaaaaaaaaa~! *teriak pake toa*dikemplang Inoo*
aduh.. Inoo KDRT.. /=A=
nah, minna-san.. gimana pendapat kalian tentang fanfic *coret*abal*coret* ini? :3
dan.. dan.. perlu kalian ketahui, ini... ini fanfic wansyot (baca: oneshot)pertama sayaaaaaaaaaaaa~!! *hagu2 akang Inoo*
dan juga... fanfic romance pertama saya.. ==
romance'nya jelek ya? yah, saya emang gak bakat nulis romance.. *ketawa nista*
fanfic ini untuk menyambut (?) hari ultahnya ichiban saya, INOO KEI, yang jatuh (?) pada tanggal 22 Juni.. XD
kelewat ya? ah, biarin lah.. gapapa.. X3
nah, yang comment dapet boxer'nya akang Inoo~ :3 *dicekek*
-Jeihan