Senin, 27 Juni 2011

Yamada Ryosuke

miiiinnnaaa!!!!!!!!!!...helloo~~...
balik lagi sama admin yang cinta mati ama yuto *abaikan*.
kali ini saya akan membahas personil yang paling kawaii!! yakni,Yamada Ryosuke.


lahir di Tokyo sama kayak Yuuto tpi Yama dulu sih..*abaikan*
Yama lahir pada tanggal 9 Mei 1993.
Tinggi : 164 cm
Berat  :  54 kg
Gol. Darah : B
Nama Panggilan : Yama-chan,Ryo-chan,Yamada.



seksi bgt hufft hufft hufft...


Fakta dari Yamada Ryosuke :

*)Makanan yang paling di sukai Ryo-chan adalah Strawberry,Soy Ramen,Daging,dan Terong.

*)Role Modelnya Yama adalah Doumoto Koichi,adalah senpai Yama dan 
salah satu personilnya KINKI Kids

*)Masuk kedalan Johnny's Jimusho waktu masih kelas 5 SD

*)Dalam perencanaan masa depannya dia mau menikah pada umur 25 th dan hanya memiliki 2 anak , keluarga berencana...*abaikan*

*)Paling nggak suka naik Roller Coaster , Matematika , ruang gelap dan sempit , Tomat , dan Natto

*)Paling suka warna Hitam dan Putih *orang netral*






ayyy....cowok manis ini.kan pernah main di banyak dorama jepang...tapi saya paling suka dia pas di Scrap Teacher xD...beda banget sama sifatnya di dorama Hiradame Tantei Eye or Scrap Teacher,sifat sesungguhnya dari Ryo-chan adalah Ceria dan Bubbly.

Ia juga termasuk salah satu Mood-maker di dalam Hey Say JUMP!,dan member lain bilang ,Yama-chan ini tidak bisa berhenti bicara *lho?*,alias Cerewet..
nah lo spa yang mau pny pacar yg cerewet? *di plototin Yama*




dengar-dengar gosip Yama pernah pacaran ama salah satu lawan mainnya di Scrap Teacher.*wow!!*

sesibuk apapun dirinya dia tetap sering main ke rumah saya *alamak keceplosan*(??),maksud saya , sesibuk apapun Yama-chan , jika ada waktu senggang ia paling suka bermain 
sepak bola dan shopping di Harajuku shop
*lha? Yama suka Shopping? xD*



Yama...kawaii..
saking Kawaii-nya ada pepatah mengatakan *all Girl like Yamada Ryosuke*








Aulia-chan desu Yoroshiku onegaishimesu (^.^)

1 komentar

Sabtu, 25 Juni 2011

Inoo Kei

holaaaaaaaaaa~ coba tebak siapa saya~
Sandra Dewi? bukan!
Dewi Sandra? Oh, tentu bukan!
Tukul Arwana? mendekati!
yap! saya adalah admin Jeihan! XD *ketawa bangga*
okeh okeh, minna-san.. saya mau bagi-bagi profilnya Ichiban saya yang paling cantik: INOO KEI!! XDD





ah.. sepertinya saya memasukkan terlalu banyak gambar.. =w=
okeh! mulai! XD

Nama: Inoo Kei (伊野尾慧)
Kanjinya ribet yah.. padahal namanya gampang.. =="

TTL: Saitama, 22 Juni 1990
Inooooooooooo~ kita beda 7 tahuuuuuuuuuuuuun~!! >w<

Gol darah: A
Aku O looooooooooh~! XD *gakpenting*

Tinggi: 176 cm
*kicep* aku aja 150.. ._.

Senior yang dikagumi: KAT-TUN

Charming Point: Tangan (katanya sih kayak cewek.. lentik gimanaaaaaaaaaaaaaa gitu~ XD)
*hagu hagu tangan Inoo*

Makanan Favorit: Nasi, Udon, Ramen

Benda yang disukai: Surat dari fans
aku akan mengirimi surat penuh cintaaaaaaaaaahh~ *Q*

Cinta pertama: SMP kelas 1 (kalo gak salah.. XD)
itu pasti saya! XD

Tipe cewek: Imut, baik, intar dan resonsible
sayangnya aku tidak seperti itu.. TT^TT

Bakat: Basket, gambar, gitar, piano
akubisa keyboard.. walau sedikit.. ._.

impian: CD debut
AMIN!! AMIN!!

Favorite color: biru langit
SAMAAAAAAAAAAAAAAAAA~!! XDD

Inoo gak suka bahasa Inggris, tapi dia suka belajar bahas inggris.. nah, bingung kan? sama.. saya juga.. ==
dia suka belajar hal-hal baru,


2 komentar

Afternoon Memories [oneshoot]

especially buat para JUMPers.. baik yang saya kenal ataupun nggak.. ^O^/
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
3 Januari, 2011...

Sepasang kaki jenjang itu melangkah dengan terburu-buru. Terdengar hembusan napas cepat dari hidungnya, bergerak-gerak mencari udara. Sesekali, ia melirik arloji berwarna biru langit di pergelangan tangannya, dan saat itu juga ia mempercepat langkahnya. Rambut hitam-semi-coklat milik pria itu berkibar lembut. Poni yang menutupi dahinya terlihat basah oleh keringat. Yah, siapapun kana berkeringat ketika berlari walaupun udara sore di Tokyo hari itu terbilang cukup dingin. Ditambah dengan butiran-butiran salju yang jatuh dengan lembut membuat pria itu harus memasukkan tangannya ke saku jaket, masih sambil berlari.

Dan di sudut yang lain, seorang gadis berjalan dengan senyum riang. Beberapa kali ia berhenti di depan etalase toko hanya untuk mengagumi barang yang dipajang kemudian berjalan pergi. Tidak, ia tidak miskin. Ia bukan orang miskin yang menatap barang yang mereka inginkan dengan memandangi barang itu lama-lama, meminta belas kasihan dari sang pemilik toko. Kalau bisa, ia sudah membeli seluruh pertokoan di jalan ini. Bukan maksud menyombongkan diri.

Walaupun natal sudah lewat, gadis itu masih merasakan semangat natal. Natal yang tidak sempat dirayakan bersama orangtuanya. Mengingat itu, senyum lebar sang gadis memudar. Diganti dengan sebuah garis lurus kaku yang pahit. Dengan cepat, ia menggelengkan kepala dan kembali tersenyum. Hei, gadis, tidak sadarkah kau bahwa orang-orang di sekitarmu menganggapmu gila? Ia akan mengambil langkah ketiga ketika dirasakannya sebuah benda menghalangi akses jalannya. Benda? Entahlah. Benda itu terasa hangat dan... apa? Bernapas...? Gadis itu mendongak dan mendapati seorang pria tengah menatapnya kesal.

“Kau menghalangi jalanku!” seru pria itu dengan nada tinggi. Ah? Pria? Tidak, ia terlalu cantik untuk ukuran seorang pria. Kalau begitu... wanita? Tidak mungkin seorang wanita mempunyai badan sedatar papan speerti itu. Jadi... dia apa?! “Oi! Kau tidak dengar apa kataku?! Kau. Menghalangi. Jalanku. Bodoh!”

Mendengar ocehan orang yang ditabraknya, gaids itu melangkah mundur. Tiga langkah dirasanya cukup. Baru saja pria itu ingin berlari, dua kata dari sang gadis membuatnya membatu. Rahangnya mengeras. Darahnya serasa naik ke kepala, mendidih. Bahkan salju pun bisa meleleh bila berada di dekatnya. Hiperbola? Memang. Dan dua kata itu adalah...

“Kau wanita?”

“Dengar ya, anak kecil.” Ia menarik napas dalam-dalam. “AKU INI PRIA! Kau bisa mendengarnya?! PRIA!” serunya marah. Ia segera melirik arlojinya lagi. “Demi Tuhan! Kau membuatku terlambat!” lalu ia berlari lagi.

Sang gadis memegang dagunya. “Sepertinya... aku pernah melihatnya...” ia terdiam. Sedetik kemudian, matanya melebar. “Aa... aaa... i-itu... tidak mungkin dia... kan? Inoo... Kei...?”

***

Tiga orang pria berumur sekitar 20 tahun duduk melinkari meja di tengah mereka. Yang satu bertubuh pendek dan gempal. Sesaat, ia terlihat seperti pinguin. Di sebelahnya, seorang pria dengan gigi gingsul tengah menyesap teh hijaunya. Sesekali, iamencuri Pocky milik si pinguin. Sementara yang satu lagi, seorang pria dengan tubuh super kurus. Si kurus hanya memasukkan kakinya ke dalam selimut yang entah dari mana asalnya. Si pinguin yang melihat jatah Pockynya berkurang melirik curiga pada si gingsul.

“Bukan aku!” seru si gingsul. Entah sadar atau tidak, ia memperlihatkan giginya yang berlumuran coklat Pocky. Eeewww.

“Lalu cokelat di gigimu itu apa, YAROtome Hikaru?!” dengus si pinguin, kesal.

“Namaku Yaotome Hikaru, dasar Pinguin!” Hikaru mencubit kedua pipi gemuk temannya.

“Dan namaku Daiki Arioka, dasar gigi ajaib!” Daiki balas mencubit pipi Hikaru yang... well... tidak seempuk pipinya.

“Bisakah kalian diam?” tanya si kurus—yang diketahui bernama Yabu Kota—dengan kepala yang terkulai di atas meja.

“DIAM KAU, KEREMPENG!” seru Daiki dan Hikaru bersamaan.

“A-apa?! Hei! Aku—”

BRAK!

Suara pintu yang dibuka paksa memotong omongan Yabu. Dan seorang pria cantik berdiri terengah di ambang pintu. Peluh yang menghiasi dahi ,ulusnya sepertinya cukup untuk membuat mereka menelan kembali pertanyaan “Kenapa kau terlambat?” yang sedetik lagi akan lolos dari bibir trio itu.

“Biar kutebak.” Sang ping—maksudku Daiki memecah keheningan. “Kau tertidur saat berendam di kamar mandi?”

“Atau terlalu asyik menggambar?” tanya Yabu.

“Atau... terlalu asyik berkencan dengan wanita yang kau temui saat konser Summary tahun lalu?” goda Hikaru.

“Sungguh, kau berbakat jadi paranormal, Hikaru.” Pria itu berjalan menuju mejayang didiamin oleh trio JUMP tersbut.

“Jangan ragukan instingku yang tajam ini, Inoo.” Hikaru membusungkan dadanya, bangga.

“Bukannya gigi gingsulmu yang tajam?” tanya Daiki polos.

“Sial kau, pinguin cebol.” Hikaru merebut bungkus Pocky Daiki dan memasukkan tiga batang sekaligus ke mulutnya.

Daiki terlihat pasrah. Namun, dalam hati, ia bersumpah akan menusuk ban mobil Hikaru dengan paku nanti.

“Hei, cantik, kau terlihat kesal.” Goda Yabu. “Ada apa?”

“Memanggilku seperti itu, kujamin kau tidak akan pulang dengan anggota tubuh yang utuh.” Ancam Inoo, kemudia menyandarkan kepalanya kemeja. “Ada seorang anak kecil yang menanyaiku ‘kau wanita?’ dengan polosnya.” Dengus Inoo.

Mereka terdiam.

“HA! Hahahaha!” dan—seperti yang Inoo duga—mereka tertawa.

“Urusai!” seru Inoo.

“Kau... hahaha... pantas mendapatkan pertanyaan itu, Inoo.” Kata Yabu di sela tawanya.

Sebuah tamparan mendarat telak di pipi Yabu.

“Haaaaahh... harusnya hari ini aku menghabiskan waktuku dengan Iruma-chan.” Gumam Inoo sambil memikirkan gadis yang menjadi pacarnya sejak konser Summary tahun lalu.

***

Sementara itu, di sudut lain kota Tokyo, seorang perempuan bertubuh proporsional dengan rambut coklat bergelombang tengah bergelayut manja pada laki-laki di sebelahnya. Rasa cintanya pada fashion mengalahkan dinginnya udara yang menyerang kakinya yang hanya memakai sepatu boots putih dengan paduan rok pink selutut.

“Neeee... Yamada-kun, aku mau itu.” tunjuknya pada sebuha kalung berlian yang dipajang di etalase toko.

“Apapun untukmu, Iru-chan.” Ucap Yamada sambil mencium kening sang gadis dan menariknya masuk ke toko.

Sang gadis tersenyum.

***

Bruk!

Untuk kesekian kalinya, pria itu terjatuh. Sontak, delapan member JUMP yang lain menghentikan tari mereka dan menolehkan kepala kearah Inoo yang tengah jatuh terduduk. Raut mereka sama: bingung. Salah satu dari mereka, seorang member JUMP bertubuh pendek yang bernama Morimoto Ryutaro, memencet tombol stop pada tape di pojok ruangan, mengakibatkan lagu OVER yang baru-baru ini keluar sebagai single mereka berhenti mendadak.

Yabu berjalan mendekati Inoo. “Kau baik-baik saja?”

“Ya… aku hanya merasa… sesuatu yang buruk.” Gumam pria cantik itu, lebih kepada dirinya, sambil mencoba untuk berdiri.

“Dan kutebak, itu tentang Iruma, benar kan?” Tanya Hikaru sambil memamerkan deretan giginya yang… ehm… berantakan.

“Aku tidak tahu.” Inoo berdeham. “Tapi sepertinya begitu.” Ia berjalan ke sebuah meja dan mengambil sebotol air mineral. “Hei, dimana bocah strawberry itu?”

“Yama-chan?” Tanya Yuri Chinen. Mendapat anggukan dari rekannya, pemuda bergigi kelilnci itu melanjutkan. “Katanya ia akan sampai beberapa saat lagi.”

“Oh ya?” dengus Yabu. “Kapan kau terakhir meneleponnya?”

Chinen terlihat berpikir. Ia meletakkan jari telunjuknya di dagu dan menatap ke atas. Kepalanya dimiringkan 45º ke kiri. Satu kata: kawaii. “Sekitar… sejam yang lalu.” Memang, tidak ada yang bisa menandingin keimutan member JUMP termuda kedua—sementara yang pertama dipegang oleh Ryu.

“Telepon lagi.” Perintah Yabu cepat.

Chinen segera memencet beberapa tombol di telepon genggamnya sebelum menempelkan benda merah itu ke telinganya. “Halo? Hei, Yama—” Ia diam sejenak. “Apa? … H-hei! Dengan siapa kau? Aku mendengar suara anak perempuan.” Terdengar suara penjelasan Ryo yang memelas. Chinen memajukan bibirnya. Ini bukan karena Chinen cemburu atau apa. Ingat, ini bukan cerita yaoi. “Yayaya… cepatlah datang kesini.”

“Apa katanya?” Tanya Inoo sesaat setelah benda merah itu tak lagi berada di telinganya.

Chinen menghela napas. “Katanya… ia sedang ada di jalan, mengantar pacarnya.”

“Eh? Yama-chan punya pacar?” Tanya Nakajima Yuto.

“Akan kubunuh bocah strawberry itu.” Gumam Yabu kesal.

***
29 Januari, 2011…

“Jangan lari kau, bocah sialan!” seorang wanita tua dengan gaun maid dan rok putuh panjang yang sudah tidak cocok lagi untuknya. Pandangannya matanya terkunci pada seorang gadis di depannya yang tenggah berlari.

“Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!” teriak gadis itu sambil berlari. Namun, di wajahnya terukir tawa bahagia. “Hahahaha!” sang gadis menambah kecepatan larinya.

Melihat itu, sang maid tua hanya berdecih dan mempercepat tempo larinya. Ia merogoh walkie-talkie di sakunya dengan tidak sabar. “Di persimpangan ketiga!” katanya pada walkie-talkie itu. Sementara yang jadi balasan adalah suara yang bisa di bilang tidak jelas. Wanita itu mengangguk sambil memasukkan kembali walkie-talkienya ke dalam saku. Maid tua itu berhenti ketika dilihatnya sang buruan telah lepas dari pandangan.

Sementara itu, sang gadis malah tertawa riang ketika dirasanya ancaman yang sedari tadi mengejarnya sudah tidak ada. Ia merentangkan kedua tangannya, merasakan angin dingin. Tidak peduli dengan tatapan beberapa orang yang merasa terganggu karena ulahnya.

Rambut hitamnya dibiarkan tertarik ke belakang, dibawa angin. Apalagi trotoar sore itu tidak terlalu ramai. Lagipula siapa juga yang mau merepotkkan diri dengan memakai baju tebal? Mereka lebih memilih bersantai di depan perapian sambil menyesap kopi. Jadi ini yang namanya kebebasan? Batin gadis itu. Menyenangkan!

“Nah, nah… mau kemana, nona?” sebuah suara berat di depannya membuat sang gadis berhenti berlari. Saat mendongak, ia mendapati seorang yang berbaju pelayan—vest coklat dengan kemeja putih—tengah bertolak pinggang sambil mengeluarkan aura neraka—walaupun wajahnya menampakkan senyum manis. Tidak mendapat respon dari sang gadis, pelayan itu menggamit lengan sang gadis dengan lembut dan menuntunnya menuju mobil. “Seharusnya anda tidak kabur, nona.”

“Dan membiarkan diriku mati bosan?” sang gadis memutar bola matanya.

“Aunt Rachel hanya ingin anda—”

“Berhenti!” pekik gadis yang duduk di belakang. “Berhenti membicarakan wanita itu di depanku, Drachen! Dia hanya ingin mengambil hartaku. Setelah hartaku habis, ia akan pergi. Cih! Wanita jalang itu.”

Drachen, sang pelayan, hanya bisa tersenyum masam. Ia sudah mengurus sang nona sejak gadis itu belum lahir. Ia sudah tahu tabiat sang majikan. Ia sudah tahu majikan mungilnya itu membenci Aunt Rachel yang sejak beberapa bulan lalu menjadi walinya, menggantikan kedua orang tuanya yang wafat karena kecelakaan pesawat beberapa waktu lalu.

Dia, Jei Loire. Anak pertama dan satu-satunya dari keluarga Loire. Ibunya berasal dari Jepang, ayahnya memiliki darah Perancis. Tidak heran anaknya semanis ini. Perpaduan Asia dengan Barat. Gadis itu di anugerahi kecantikan ibunya. Rambut hitam yang menjuntai menyentuh pinggang di padukan dengan kulit sepucat bulan. Mata safirnya yang bulat dan besar seolah dapat menarik siapapun untuk melihatnya lebih lama. Safir pun akan terlihat redup bila dibandingkan dengan irisnya. Apa? Kau menganggap kata-kataku hiperbola? Tapi memang begitu keadaannya. Dilihat dari fisiknya, orang-orang pasti menganggapnya sebagai anak kelas 1 SMP. Padahal, usianya kini menginjak 18 tahun. Tidak perlu kusebutkan berapa tingginya. Aku tidak terlalu suka menyebar kekurangan orang lain.

Ia kehilangan kedua orang tuanya dalam kecelakaan pesawat dua hari sebelum natal tahu lalu. Saat itu, entah kenapa Jei tidak menangis. Ia tetap tersenyum ketika kerabat atau teman orang tuanya menyampaikan pernyataan duka. Satu hal yang diakgumi Drachen: anak itu tegar. Dibalik tubuhnya yang kecil, anak itu mempunyai ketegaran sekeras batu. Dan Drachen tahu, semua ketegaran itu bukanlah topeng. Karena ia telah mengasuh sang nona besar keluarga Loire sejak kecil, ia tahu semuanya. Ia tahu ketika Jei berbohong.

Ditatapnya sekilas sang nona di bangku belakang. Sesaat, ia terpana dengan kedua iris biru yang memantulkan pemanfangan gedung-gedung pencakar langit di luar. Matanya seperti laut yang memancarkan matahari. Begitu mempesona, menyilaukan. Bibir merahnya yang mungil mencebik keluar disertai beberapa sumpah serapa seperti, “Dasar maid-maid tidak tahu diri!” atau “Akab kubuh si tua Rachel itu!”. Berusaha menahan tawa, Drachen akhirnya kembali memperhatikan jalan. Ia menginjak pedal rem tepat di depan sebuah rumah megah bergaya eropa. Sementara Jei dibelakang  semakin bersemangat melontarkan kutukan dan sumpah serapah untuk sang bibi.

***
31 Januari, 2011…
Hey! Sekai wa ichi? Ni?
Sankyuu to na kimi wo nosete
Hey! Sekai no ashita asate shiasette ni tsudzuku yo
Wandanamuru WONDERFUL
Terenaide, TERIMA KASIH

(Arigatou ~Sekai Doko ni Itemo~ — Hey! Say! JUMP)

Lantunan demi lantunan nada yang dikeluarkan 10 personil JUMP berhasil menghipnotis [ata fangirl di depan mereka. Tidak perlu kuberitahu apa yang sedang mereka lakukan, kan? Oh ayolah, masak kau tidak tahu mereka sedang mengadakan konser? Riuh gemuruh teriakan fangirl menggema di Tokyo Dome melam itu. Di bawah siraman cahaya lampu stage, Inoo tersenyum bahagia seraya bernanyi. Semua bebannya, kekesalannya, hilang ketika berada di atas panggung, menghibur para penggemarnya. Bukankah bagi seorang penyanyi, fans adalah harta berharga mereka? Satu lagu usai, serentak mereka menghentikan tarian mereka dan kembali ke belakang panggung.

“Kutanya, dari mana saja kau, Ryosuke Yamada?” cecar Yabu Kota, sang leader. “Datang lima menit sebelum konser mulai itu hal yang tidak biasanya kau lakukan.”

“Anooo… berkencan.” Yamada menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. “Hehehe… gomen, minna-san.”

“Neeeeee… jadi si bocah strawberry ini sudah punya pacar?” goda Yuto sambil menyikut bahu Yamada. “Kenapa tidak kau kenalkan pada kami?”

“Dan membiarkan kalian meminta traktiran?” dengus Yamada, berpura-pura kesal.

“Cih! Rencana kita ketahuan rupanya.” Gumam Keito yang disambut sikutan dari Yuto ditambah dengan cengiran neraka dari Hikaru.

“Oh ayolah.” Paksa Chinen dengan jurus andalannya: puppy eyes.

“Baiklah, baiklah. Hentikan tatapanmu itu, Chinen.” Seru Yamada sambil tertawa. “Sebetulnya… dia ada disini.”

“EEEEEEHH?!” 9 member JUMP lain berteriak seakan mendengar gossip bahwa Ohno Satoshi ternyata istri simpanan Johnny—pemilik Johnny Entertainment. Oke, fans Ohno. Jangan melemparku dengan garpu atau apapun itu ditangan kalian.

“Iya. Sebentar ya, aku panggilkan.” Sesaat setelah mengucapkan itu, Yamada pergi dengan langkah riang.

“Tidak kusangka bocah gembul itu akan tumbuh dewasa.” Inoo tertawa, disusul member yang lain.

“Kau kapan?” Tanya Hikaru.

“Apanya?”

“Kapan kau akan memperkenalkan kekasihmu pada kami? Yang tahu kekasihmu kan hanya aku, Yabu, Daiki, Chinen dan… oke, semuanya kecuali Keito, Yamada dan Ryu.

“Nanti sajalah.” Jawab Inoo santai.

Tidak berapa lama, bocah itu kembali dengan seorang perempuan manis dengan tubuh proporsional. Sang gadis terlihat meronta dalam genggaman Yamada. Namun, tenaga laki-laki tentu lebih kuat dari perempuan.

“Nah, minna! Ini kekasihku!”

Yabu melotot seketika.

Chinen dan Yuya mengikuti jejak Yabu.

Daiki berhenti memakan Pockynya.

Yuto memasang tampang horror.

Hikaru menyemburkan air minumnya.

Ryu dan keito hanya memandang heran pada senior-seniornya.

“Tuh kan! Mereka terpesona dengan kecantikanmu.” Canda Yamada.

Tidak ada yang tertawa, jika kau mau tahu situasinya.

Hikaru menepuk-nepuk pundak Inoo yang sedang iseng menyusun gelas plastic hingga berbentuk piramida. Merasa ternganggu, Inoo menoleh dan melebarkan matanya. Di perhatikannya sang gadis yang familiar baginya. Rambutnya… rambut yang sangat ia kenal. Rambut lembut yang sering ia sentuh.

“Iruma…?” tulang kakinya terasa seperti jelly sekarang. Begitu lembek. Ia menghampiri sang kekasih dengan tatapan terluka. Siapapun pasti akan merasa bersalah ketika melihat tatapan itu. “Kau…” suaranya bergetar, menahan emosi yang berusaha keluar.

“T-tidak, ini… ini…” Iruma menunduk. “Maafkan aku, Inoo-kun.”

Inoo terdiam sejenak, sebelum tawanya meledak. “Ha! HAHAHAHA! Selama ini ada perempuan yang menduakanku dan aku tidak tahu? Betapa bodohnya aku!”

Sementara 8 member JUMP lain yang melihat Inoo tertawa seperti orang gila bingung harus ikut tertawa atau tidak.

“Haha… ha…” pria cantik itu terdiam.

Kesal. Kesal. Kesal. Kesal. Kesal. Dan… emosi. Itu yang ada di pikirannya sekarang. Ia mundur beberapa langkah, tida menyadari tumpukan kardus di belakangnya. Alhasil, ia terjatuh menimpa kardus-kardus kosong itu. Masih dengan tatapan penuh luka, ia berusaha bangun. Berusaha menahan kepalanya yang panas.

“Kau…” tuding Inoo pada Iruma. “Wanita jalang!” lalu ia berlari keluar dari Tokyo Dome.

“Inoo! Tunggu!” kejar Hikaru yang diikuti oleh Yabu.

Pria bergigi gingsul itu menarik tangan Inoo dengan kesal. Dibalikannya badan sang rekan. Kedua pria berambut coklat tersebut terperangah melihat wajah Inoo yang kacau. Air mata yang merembes keluar dari kedua mata coklatnya, wajah yang memerah berusaha meredam amarah.

“Inoo…” lirih Yabu. Sambil memegang pundak Inoo, mencoba menenangkan.

“Sekarang kalian tahu kan betapa bodohnya aku?” Tanya Inoo sambil menatap manik mata di hadapannya bergantian. “Lepaskan aku.”

“Tapi…”

“Kubilang lepaskan aku, yaro!”

Dengan sekali sentakan, Inoo berhasil meloloskan diri dari belenggu tangan Hikaru. Seperti orang gila, ia melarikan dirinya ke jalan. Berusaha meraih trotoar di seberang. Namun, sepertinya sang takdir belum puas menari diatas benang hidupnya. Sebuah truk menabraknya.

“INOO!” teriak dua sahabatnya itu.

Dengan tanpa dosa, truk itu melaju lagi. Seolah ia hanya melindas seekor tikus. Yabu menggenggam tangan Inoo dengan tatapan nanar. Di perhatikan inci demi inci tubuh penuh darah di bawahnya. Kondisinya mengerikan.

“Yabu…” tangis Inoo. Cairan merah kental memenuhi mulutnya. “Yabu…”

“HIKARU! Cepat panggil ambulans!” seru Yabu dengan panik. “Cepat, Hikaru!”

“H-hai!” dengan tangan gemetar, Hikaru mengambil telepon genggamnya. Setelah berbicara sebentar pada orang di seberang—yang sepertinya pegawai rumah sakit mengingat tidak mungkin ia menelepon ibunya di saat seperti ini—ia memutuskan sambungannya dengan wajha gugup. “Katanya mereka akan datang sebentar lagi.”

Sementara itu, Inoo terus menangis sambil memegangi kedua kakinya. “Yabu… Hikaru…” kedua sahabatnya menoleh.
“Aku… tidak bisa merasakan kakiku…”

***

1 Februari, 2011…

Kedua orb safir biru itu enggan melepaskan pandangannya dari layar kaca. Mulutnya menganga tidak percaya mendengar berita yang disiarkan. Cangkir porselen mahal di tangannya meluncur bebas, mengagetkan maid serta para pelayan yang tengah menemaninya di ruangan itu. Drachen, yang berdiri paling dekat dengan Jei, menepuk bahu sang nona dengan khawatir. Namun, gadis itu tetap tidak bergeming. Lidahnya kelu. Ia tampak seperti patung—dengan ekspresi horror sebagai tambahan.

“Nona?” Drachen berusaha menyadarkan Jei. Disentuhnya sekali lagi pundak kecil nan ringkih itu.

Jei tertawa. Matanya masih membelalak. Satu hal yang bisa dipastikan, ekspresi itu membuat eksistensi-eksistensi di ruangan itu bergidik ngeri. Mereka mengira sang nona dari keluarga Loire mendadak gila.

“Hahahaha! Ini pasti mimpi!” suara tawa yang keluar terdengar lebih parau dari perkiraannya. Ia melipat kedua tangannya di depan dada, seolah menunggu sesuatu. “Cepat atau lambat aku pasti akan bangun.”

Drachen menatap sang nona dengan bingung. Kini, ia yakin ada yang salah dengan otak Jei. “Nona?” panggilnya lagi. “Apa maksud anda?”

Jei melempar pandangannya pada televisi dengan pandangan mencemooh. “Penyiar itu,” ia menunjuk seorang perempuan yang tengah membacakan berita, “ia mengatakan bahwa Inoo Kei mengalami kecelakaan.”

Ia tahu betapa sang nona sangat mengagumi sosok Inoo Kei, seorang penyanyi, member dari salah satu boyband Jepang, Hey! Say! JUMP.

“Tapi, nona…” Drachen terlihat enggan meneruskan kata-katanya. Namun, Jei menghadiahinya dengan pandangan menuntut. “Ini… bukan mimpi.”

“Inoo Kei, seorang penyanyi muda berusia 20 tahun, mengalami kecelakaan…”

Satu pukulan telak di hati Jei.

“...Ia ditabrak oleh truk…”

Dua pukulan telak untuk batinnya.

“...Dan karena kecelakaan itu, kedua kakinya terpaksa diamputasi.”

“Kau tidak membohongiku kan, Drachen?”

***
12 Juni, 2011…

Empat bulan lebih telah berlalu sejak berita menghebohkan itu. Inoo, pemuda cantik itu, mengundurkan diri dari JUMP dan memilih untuk menenkuni bakatnya yang lain di bidang aristektur dan dekorasi. Kalian bertanya-tanya mengapa ia dengan mudahnya berkata ingin keluar? Inoo tidak mau merepotkan member-member lain yang harus menjaganya setiap saat karena fisiknya yang sekarang. Tubuh yang dulu sempurna kini telah kehilangan kedua kakinya. Dan wajah yang udlu tampak menawan dengan senyum, kini diganti dengan wajah tanpa ekspresi, tanpa harapan hidup. Pikirnya, untuk apa hidup jika hanya bisa merepotkan orang lain? Walaupun sesungguhnya, mereka tidak pernah merasa direpotkan. Mereka memaklumi keadaan Inoo yang sekarang.

Sore yang dingin dan kelabu. Rintik-rintik hujan masih terasa di pergelangan tangan pucat itu. Hujan baru saja berhenti beberapa menit lalu, meninggalkan jejaknya di dedaunan. Inoo menggerakan kedua roda kursinya dengan pandangan jengah. Ia bosan hidup seperti ini. Menggantungkan diri diatas dua buah roda. Tadi, sang ibu menyuruhnya untuk berjalan-jalan sebentar keluar. Hitung-hitung untuk member warna pada kulitnya yang lebih mirip mayat. Dan ia memilih untuk berjalan-jalan di taman di dekat rumahnya.

Ia menghentikan laju rodanya di samping sebuah kursi kayu. Kursi yang dulu sering dipakainya. Diliriknya seorang gadis yang sedang duduk di kursi itu. Sepertinya orang asingbatinnya. Lekuk wajah yang bagus, namun matanya tertutup oleh poni panjang—tidak, Inoo yakin ia bukan orang beraliran emo atau apa. Dan… apa itu ditangannya? Buku dongeng?
Merasa diperhatikan, gadis itu menoleh. Sang coklat tertawan oleh indahnya safir. Wajah mungil dengan kulit sepucat bulan, rambut sekelam malam, bibir yang semerah mawar. Apakah ini artinya Inoo tertawan oleh gadis di hadapannya? Sepertinya begitu. Pria cantik itu menggelengkan kepalannya dan kembali memasang wajah dinginnya—yang sejak 4 bulan lalu menjadi trademarknya.

“Tidak baik untuk seorang anak kecil berada sendirian di taman.” Inoo menyandarkan punggungnya. “Dimana orang tuamu?”

Namun, tidak ada kata balasan dari sang gadis. Penasaran, ia menolehkan kepalanya. Dilihatnya sang safir yang menatapnya dengan pandangan campur aduk. Antara terkejut, kagum, tidak percaya dan… mengidolakan? Bibirnya menganga lebar.

“Kau… Inoo Kei?!” pekik gadis itu. Ia mulai bersikap bodoh sekarang. Tangan kirinya menutup mulut sementara tangan kanannya menunjuk-nunjuk Inoo. Ia berdiri dari kursi dan melonjak-lonjak senang. Sesekali ia menatap Inoo lalu kembali menatap langit kelabu.

“Apa ini karena perkembangan jaman atau memang gadis ini agak… gila?” gumam Inoo dengan mata yang mengarah pada sang gadis dengan tatapan apa-kau-sinting?

“Hei! Aku dengar itu!” seru sang gadis yang kemudian menatap Inoo dengan kesal. Cepat sekali berubah ekspresinya. “Dengar, aku ini penggemarmu! Penggemar beratmu! Oh! Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu!”

Inoo tertawa merendahkan. “Huh? Kukira setelah kehilangan kedua kakiku, aku juga akan kehilangan fansku.” Ia mengingat kembali bagaimana para fans yang lama-kelamaan menjauhinya.

“Tidak!” pekik gadis itu. Karena terlalu senang, ia tidak menyadari volume suaranya yang terlalu keras. Biar. Toh tidak ada yang memprotes, benar? “Aku… aku berbeda dengan fans-fansmu yang lain. Aku akan selalu menjadi fansmu!”

Percaya atau tida, ada sedikit rasa senang di hati Inoo. Namun, dengan baik ia menyembunyikannya. “Jangan bodoh.” Dengus pria itu. “Kau sama saja dengan yang lain.”

“Tidak! Tidak!” gadis itu menggeleng cepat. “Percayalah, aku akan selalu mengidolakanmu!”

Inoo menatap sang gadis dengan jengah. Yah, semua juga berkata begitu. Tapi lihat sekarang. Tidak ada lagi fans yang mengerebutinya. Maka, ia sudah muak dengan janji-janji semacam itu. Mereka semua mengatakan itu hanya untuk menghibur Inoo, untuk membuatnya merasa nyaman. Dan ketika Inoo sudah berpegangan pada janji-janji semu mereka, mereka akan berbalik pergi. Sungguh, janji itu sesuatu yang mengerikan.

“Urusai…” bisik Inoo. Ia menatap tempat dimana kedua kaki itu harusnya berada. “Jangan membuatku percaya lagi dengan yang namanya janji.” Suaranya hanya berupa deru angin.

Sang gadis terdiam, menunduk. “Kumohon… bernyanyilah lagi…”

Mereka terdiam.

“Siapa namamu?” Tanya Inoo.

“Jei. Jei Loire.” Jawab Jei dengan binar di matanya.

Ditemani angin dingin yang berhembus, dibawah naungan mangkuk kelabu, kedua eksistensi itu menikmati keheningan.

***

12 Juni, 2011…

Drachen menatap sang nona yang sedang tertidur pulas. Tubuh mungilnya tersembunyi dibalik helaian selimut putih. Tubuh mungil yang rapuh, tubuh mungil yang tegar. Sampai kapan ia akan menderita seperti ini? Batin Drachen dengan tatapan sendu. Diusapnya rambut Jei. Gadis itu menggeliat pelan.

“Nona… nona…” bisik Drachen. “ Sampai kapan kau harus menanggung ini?”

“Inoo… bernyanyi… laaaahh…” gumam Jei dalam tidurnya.

Drachen tersenyum tipis mendengar igauan sang nona. Setelah membersekan selimut, pria itu mematikan lampu kamar lalu melangkah keluar dari kamar Jei.

***

14 Juni, 2011…

“Hei.” Panggil sebuah suara di samping Jei.

Sore itu, selang dua hari setelah pertemuan pertamanya dengan Inoo, Jei berkunjung lagi ke taman itu. Tentu masih ditemani oleh buku bertajuk “1001 Dongeng Dunia”. Sebuah buku tebal yang lebih mirip buku sihir daripada buku dongeng.

Merasa ada yang memanggilnya, Jei menoleh. Orb safirnya membelalak, wajahnya memanas seakan ia berdiri tepat di depan pemanas. Jantungnya… jantungnya terasa memukul-mukul dadanya, memaksa untuk keluar. Dalam beberapa detik, Jei hanya terdiam dengan tampang bodohnnya.

“Hei, hei!” pria itu mengibaskan tangannya di hadapan wajah Jei yang merona dengan mulut terbuka. Ekspresi yang konyol. “Ada yang salah denganku?”

“Hah?” Jei kembali pada kesadarannya. “Hah? Oh, eh… tidak.” Ia menyembunyikan wajahnya dibalik helaian rambut. “Aku hanya terkejut melihatmu disini.”

“Terkejut?” Tanya Inoo dengan nada tersinggung. “Memangnya aku menakutkan?”

“B-bukan begitu!” sergah Jei panik.

Inoo terdiam dengan tatapan sinis. “Pffffftt!” dan tawa pun meledak. “Aku hanya bercanda! Jangan memasang tampang bersalah seperti itu. Terlihat seperti orang bodoh, kau tahu?”

“Ah!” mata Jei membola seketika. “Kau! Kau tertawa! Kau tertawa, Inoo! Waaaa! Inoo tertawa!” serunya heboh.
Inoo segera menutup mulutnya dengan sebelah tangan. “M-memangnya kenapa kalau aku tertawa?”

“Aku… hanya senang bisa melihatmu tertawa lagi.” Desah Jei dengan pandangan menerawang. Dimatanya terpantul langit sore sementara di wajahnya terukir garis lengkung. Senyum.

“Ini pertama kalinya aku melihatmu tersenyum.” Ujar Inoo sambil mengeluarkan senyum lembutnya. Senyum yang dulu digilai para wanita. Yah, memang saat pertemuan pertamanya, Jei tidak tersenyum, bukan? Gadis itu hanya melonjak-lonjak senang dengan mulut menganga. Dan perlu dicatat, menganga itu berbeda jauh sekali dengan tersenyum. “Dan kau… terlihat… ehm, manis…”

Mendengar itu, rasanya seluruh darah di tubuhnya mengalir ke kepala. Wajahnya memerah. “T-terima kasih.” Jei menggerak-gerakkan kedua kakinya yang tidak menyentuh tanah—bukan, dia bukan hantu. Itu karena faktor tinggi badan.

“Kau… anak SMP?” Tanya Inoo.

“E-eh?!” Jei tersentak, ia terkejut. Hidungnya mengernyit tidak suka. “Enak saja! Aku sudah berumur 18!”

“Eh?!” kini giliran Inoo yang terkejut. “Benarkah?! Tapi…”

“Ya… aku tahu.” Jei mengerucutkan bibirnya.

Inoo memutar kursi rodanya dan berhenti tepat di hadapan Jei. Dengan polos—seolah apa yang ia lakukan adalah hal biasa—ia mengelus rambut hitam itu. Halus. Seperti untaian-untaian sutera. Iris coklatnya menelusuri sang safir, membiarkan dirinya tenggelam dalam lautan biru yang menghipnotisnya. Indah, sungguh indah. Sadar atau tidak, tatapan mata Inoo terlihat seperti tatapan orang memuja. Ya, ia begitu memuja gadis yang ditemuinya dua hari lalu. Pada pertemuan pertamanya, ingatan tentang sang gadis masih terbawa sampai rumah. Seperti sang pangeran telah menemukan putrinya.

“Kau… sungguh sempurna.” Puji Inoo. Entah ia dalam keadaan sadar atau tidak.

“A-ap…” wajah Jei yang sudah merah, kini semakin memerah. Seperti kepiting rebus yang dilumuri cat merah. Ih, siapa yang sudi memakan kepiting itu? Oh, kembali ke cerita.

“Kau juga tidak cacat sepertiku.” Mata sang coklat masih tenggelam diantara indahnya biru safir.

Jei tersentak. “Tidak ada manusia yang tidak cacat, Inoo.” Dahinya mengernyit.

“Kau beda, Jei.” Nadanya begitu lembut. Beda dengan suara pada pertama mereka bertemu. Begitu kasar dan dingin.

“Bagaimana kalau aku tidak sempurna?” bisiknya lirih.

“Apa maksudmu?”

“Aku tidak sempurna, Inoo.” Ia menundukkan kepalanya.

“Apa yang tidak kau miliki?” Tanya Inoo, masih mengelus untaian benang hitam di kepala Jei. “Kau manis, kau cantik. Dan aku tahu, kau berasal dari kalangan atas.”
“Bukan itu yang disebut kesempurnaan!” seru Jei. Ia berdiri dan menatap Inoo. Tatapannya… entah kenapa tidak bisa diartikan. Tatapan tanpa arti yang penuh arti. Bingung? Yah, memang. “Kesempurnaan bukan hanya dilihat dari fisik atau materi!”

Inoo terperangah melihat Jei. Apakah ia mengatakan sesuatu yang salah? Oh, jika ia mengetahui yang sebenarnya, ia pasti menyadari kesalahan itu.

“Hei!” seru Inoo ketika sang gadis berlari menjauhinya. “Hei! Maaf!” walaupun ia tidak tahu apa yang salah.

Namun, sang malaikat tanpa sayap itu telah menutup telinganya.

***

20 Juni 2011…

“Cepat panggilkan ambulans!” seru Drachen. Di tangannya, tergolek Jei dengan kondisi lemah.

“Baik!” salah satu maid segera menyanbar telepon terdekat.

“Kenapa? Kenapa kau membiarkannya, nona?” ditatapnya wajah Jei dengan pandangan nanar.

***

21 Juni, 2011…

Beberapa hari setelah kejadian itu. Inoo tidak pernah melihat Jei lagi. Meskipun ia datanga ke taman itu setiap hari. Pria cantik itu mencoba menikmati sore tanpa sang gadis. Namun, entah kenapa suasana berubah menjadi lebih dingin. Walaupun sekarang masih kelabu seperti kemarin. Ia baru sadar bahwa gadis sepucat bulan itu membawa kehangatan untuknya.

Saat Inoo sedang duduk di tempat biasa—tempat pertama kali ia bertemu Jei—seorang pria berjas hitam menghampirinya. Wajahnya tampang dengan rmabut coklat terang yang disisir ke belakang. Matanya sendu, meredupkan cahaya sang mutiara hitam dibalik kelopak matanya. Ia menggenggam sepucuk surat.

“Inoo Kei?” Tanya pria itu setelah langkahnya terpaut empat langkah dari Inoo.

Inoo mengangguk. “Anda siapa?”

“Aku Drachen, pelayan keluarga Loire.” Mendengar nama itu, Inoo tersentak. Matanya melebar. “Nona menitipkan surat ini untukmu.” Drachen menyerahkan surat di tangannya.

Disambutnya surat itu. Perasaan tidak enak menyergapinya. “Apakah kau tahu dimana Jei?” Tanya Inoo ketika Drachen mengambil langkah ketiga.

Namun, yang menjadi balasan hanya sebuah tatapan sendu.

***

Inoo,
Hei. Halo. Apa kabar?
Semoga kau baik-baik saja.
Oh, ayolah! Kenapa harus seformal ini?!
Hehehe… hai, Inoo. Kau pasti bertanya-tanya dimana aku, bukan? (huh? Percaya diri sekali aku!)
Kau tidak perlu khawatie, hei Pretty Prince!
Aku sedang ada urusan sebentar. Aku janji! Setelah urusan ini selesai, aku kan menemuimu!
Aku yakin kau rindu denganku, bukan begitu?
Hei, soal yang waktu itu… aku minta maaf.
Hanya… terbawa sedikit emosi. Hehehe…
Nah, Inoo. Jaga dirimu baik-baik ya!
Aku ingin mendengar kau bernyanyi lagi.
Menari bersama member JUMP yang lain, mengumbar senyum pada fans-fansmu.
Aaaahhh… aku rindu saat-saat itu.
Hehehe…
Ne, Inoo. Jika aku tidak bisa menemuimu, kumohon jangan lupakan aku!
Oke?
Sayonara…

Jei Loire

***

Inoo meremas surat itu dnegan kesal. Apa-apaan ini?! Batinnya. Ini sih seperti surat perpisahan! Dibukanya kembali bola kertas itu.

Aku ingin mendengar kau benryanyi lagi…

Sepatah kalimat dari surat itu terngiang di telinga Inoo.

“Bernyanyi, huh?”

***

Say goodbye kyou no hi no minna ni
Wakare wa mata au yakusoku na
Kokoro hitotsu ni naru shunkan wo
Kasaneru tabi ni ai ga umareru

Lagu Thank You ~Boukutachi Kara Kimi e~ milik Hey! Say! JUMP mengalun dari mulut mereka. Mereka yang berada di tempat yang berbeda.

“Perdengarkan nyanyianmu…” ucap Jei disela isaknya.

“Dengarkan nyanyianku…” lirih Inoo.

***

22 Juni, 2011…

Sore yang muram. Gereja yang berdiri di tengah hujan tersebut menyiratkan duka. Sama halnya dengan tatapan seorang pria berkursi roda di dalamnya. Ditatapnya kayu bercat putih itu dengan nanar. Pandangannya mengabur, dihalangi oleh tirai air yang menggantung di matanya.

Kenapa ia tidak pernah bilang padaku? Batin Inoo. Kenapa ia menyembunyikan ini dariku?!

Pandangannya terpaku pada gadis di dalam peti itu. Tenang, damai. Ya, gadis itu tertidur dengan damai. Terlalu damai hingga matanya tidak bisa terbuka lagi. Ia meletakkan sebatang mawar biru diatas tubuh gadis itu sebelum mendorong kursi rodanya menjauh.

Jei, gadis itu menderita lemah jantung sejak kecil. Ia tidak bisa bertahan lama. Jei gadis yang tegar, gadis yang suka kebebasan. Dan ia tidak suka dirawat di rumah sakit, dikekang dengan selang-selang infus merepotkan. Maka dari itu, ia selalu menolak jika di sarankan untuk melakukan perawatan. Dan ketika kondisinya kritis, dokter menyarankan untuk menjalankan operasi walaupun presentase keberhasilannya sangat kecil. Dan… akhirnya sudah bisa ditebak, bukan?

Aku janji! Setelah urusan ini selesai, aku akan menemuimu!

“Mana janjimu, bodoh?”

Aku ingin mendengar kau bernyanyi lagi!

“Kau bahkan tidak mendengar nyanyianku untuk yang terakhir!” seru Inoo, frustasi.

Sayonara…

“Apa maksudmu, Jei?” Inoo menahan tangisnya. “Inikah hadiah ulang tahunmu untukku?”

Dibalikannya surat ditangannya. Matanya memanas ketika melihat tulisan yang tertera. 9 huruf sederhana namun dapat membuat Inoo mengeluarkan air matanya.
           
Aishiteru…

~Owari~
------------------------------------------------------------------------------------------------------------

*ngeliat fanfic diatas* a-akhirnya beneran di publish.. 0////0
huwaaaaaaaaaaaaaaa~! *teriak pake toa*dikemplang Inoo*
aduh.. Inoo KDRT.. /=A=
nah, minna-san.. gimana pendapat kalian tentang fanfic *coret*abal*coret* ini? :3
dan.. dan.. perlu kalian ketahui, ini... ini fanfic wansyot (baca: oneshot)pertama sayaaaaaaaaaaaa~!! *hagu2 akang Inoo*
dan juga... fanfic romance pertama saya.. ==
romance'nya jelek ya? yah, saya emang gak bakat nulis romance.. *ketawa nista*
fanfic ini untuk menyambut (?) hari ultahnya ichiban saya, INOO KEI, yang jatuh (?) pada tanggal 22 Juni.. XD
kelewat ya? ah, biarin lah.. gapapa.. X3
nah, yang comment dapet boxer'nya akang Inoo~ :3 *dicekek*


-Jeihan 
1 komentar

Jumat, 10 Juni 2011

Nakajima Yuto

minna...
kali ini kita bakalan bahas personel yang pinter banget acting...
yakni , Nakajima Yuto

Nakajima-kun..orang yang sangat sabar dan tenang...sampai - sampai           dijuluki leadernya Hey Say 7.*tipe gue banget dech* Nakajima-kun selalu bikin iri sesama personel masalah tinggi badan....sekarang kira - kira tingginya sudah mencapai 178 cm...Nakajima-kun masuk ke johnny's jr pas tanggal 28 maret 2004..*pas gue tk XD* 


Saat duduk di kelas 5 SD ,
Nakajima-kun pernah berakting dan pernah tampil dalam drama di 24  hour television dan dia juga pernah bermain dalam primadam pada tahun 2006.
Nakajima-kun paling deket sama Yama-chan,*klo yabu ma inoo gue ma sapa donk..?*




Sifatnya yang ramah dan amat peduli sama lingkungan sekitar ,salah satu sebab kenapa dia bisa membuat saya tergila-gila....kalau boleh berbagi cerita,
 dengar - dengar Nakajima-kun sampai menangis karna radiasi nuklir yang menimpa Jepang sampai saat ini...."PLTN tak salah..ini semua salah mereka yang tak disengaja...kumohon..jangan salahkan PLTN dan jangan do'akan jepang
hancur....." katanya sambil menangis bersedu-sedu...
karna Nakajima-kun mendengar bahwa banyak orang di dunia ini mendo'akan jepang hancur...akibat radiasi kemarin....sabar ya Nakajima-kun kami para JUMPers selalu mendo'akan jepang selamat kok...Ganbatte ne?..



Nakajima-kun paling takut sama hantu and serangga....huuu....sama donk Nakajima-kun aku juga takut hantu....


Nakajima Yuuto,
punya seorang adik laki2 yang bernama Nakajima Raiya...
dan kalau tak salah lihat aku pernah lihat adiknya di konser JUMP pas Summary....waktu itu adiknya tampil bareng adiknya Morimoto...



Nakajima Yuuto,
paling suka cewek yang berambut panjang and pinter bhs inggris..
cinta pertama Yuuto dulu adalah seorang suster di sebuah rumah sakit *wow!*



Yuuto lahir di Tokyo bareng Yama-chan *tapi Yama duluan sih*
waktu pertama Debut Nakajima yang paling terkenal...Yamada belum begitu...jelas,karna Nakajima bergabung dan terkenal lebih dulu dari pada yang lain...


ahh...apa lagi yach...ummm
kayaknya itu aja dech....XD
1 komentar

Senin, 06 Juni 2011

CHU~ part 1

Anyeonghaseooooooooo~

Hai, balik lagi bersama saya author gaje yang gak tau caranya bikin anak  (?). gatau ini cerita nyangkutnya kemana. Author juga bingung. hmm selamat membaca.. ^^

Author: Ilma Eriana
Title: CHU~ PART I
Genre: fanfic terjelek sepanjang sejarah
Language: campuran
Guest: Chinen Yuuri, Ikuta Toma, Kei Inoo
Cast: liat aja dibawah ini.

-The author as Ikuta Ryouna, Ryo-chan
-Rukia Kuchiki as Kairi Kagamine
-Michiko Izza as Michi, Mi-chan
-Chinen Yuuri as Chinen Yuuri, Yuu-chan
-Ikuta Toma as Ikuta Toma
-Kei Inoo as Kei Inoo, Kei oppa




CHU~
PART 1







Ryo’s POV*

            Bel tanda masuk kelas sudah berbunyi. Para siswa dan siswi masuk ke kelasnya masing-masing. Lain halnya denganku. Aku selalu datang disaat bel sudah berbunyi. Rasanya malas sekali jika harus datang pagi-pagi ke sekolah. Hanya akan membuang-buang waktu saja untuk mengobrolkan hal yang tidak penting.
           “Ryo-chan!” panggil guru piket yang setiap pagi memarahiku.
            “nani?” jawabku dengan enggan karena setiap hari aku harus selalu berurusan dengannya. Tentu saja karena masalah yang sering kubuat dengan menjahili anak-anak perempuan disekolah.
            “Ryo-chan! Apa kau yang menyentuh dada Sakura waktu itu?!” tanya guru wanita berkacamata bening itu.
            “ya, memang kenapa?!” jawabku tanpa mengelak sedikitpun.
            “kau ini kan laki-laki Ryo-chan!” bentak Sakura padaku.
            “memang kenapa kalau aku laki-laki?”

-Introducing-
          Namaku Ikuta Ryouna. Juga anak perempuan yang menyamar sebagai laki-laki karena ya begitulah. Tapi bukan itu saja, aku juga ingin menemukan kakakku yang kabur dari rumah dua tahun yang lalu. Orang tuaku sangat sedih ketika anak laki-laki satu-satunya kabur dan entah dimana keberadaannya. Maka dari itu, aku merubah namaku menjadi Ikuta Ryo agar terlihat lebih meyakinkan.
-introducing end-

          “Ryo-chan?!” teriak Yuki sensei kepadaku.
          “baiklah baiklah, apa yang kalian inginkan dariku?!” balasku tak ingin berlama-lama mendengar ocehan dari dua makhluk menyebalkan itu.
           “cepat minta maaf ke Sakura!” perintah nona Yuki.
           “ne, Sakura. Aku minta maaf” akupun terpaksa membungkukan tubuhku pada mereka berdua. Biarlah, dari pada harus mendengar kicauan mereka yang sangat berisik itu, lebih baik jika aku mengalah dan meminta maaf pada mereka.
           “baik. Kalau begitu. Kalian kembali ke kelas masing-masing” ucap Yuki sensei kepada kami berdua—aku dan Sakura.
Firasatku buruk. Tiba-tiba saja, Sakura mendekatiku dan berkata “Ryo-chan, apa aku boleh meminta alamat e-mail mu?”.
Sakura meraih tanganku dan memasang wajah kawaii nya padaku. Iiuh..
           “e? hehe. Sepertinya aku belum menyelesaikan tugas kimia-ku. Aku pergi dulu ya..” aku langsung tancap gas melarikan diri dari Sakura yang hampir menyandarkan kepalanya dibahuku. Kasihan. Sepertinya ia kecewa dengan hal itu.
……………


Dikelas..

           “ohayou minna~ apa kalian siap mengikuti pelajaran hari ini?” senyum yang indah terpancar dari wajah cantik nona Shin. Senyum yang sangat disukai para murid di Tokyou gakuen. Jujur, aku juga sangat menyukainya. Senyum yang tulus dan bisa membuat hati menjadi tenang. Sungguh pemandangan yang tak terlupakan.
           “ne, kami siap” jawab para murid secara serempak dan terlihat bahagia.
           “terima kasih semua. Tapi sebelum itu, sensei mau memperkenalkan murid baru terlebih dahulu” ucap sensei masih dengan senyumannya.
            Murid baru? Siapa dia? Apakah dia seorang wanita atau pria? Atau dua-duanya? Ah, aku tidak perduli. Asalkan dia tidak menggangguku, aku sudah sangat bersyukur.
            “ayo masuk,” ajak sensei kepada murid baru itu.
            Akhirnya iapun masuk ke kelas kami. Rupanya dia seorang laki-laki. Tapi wajahnya tidak membuatku yakin kalau dia adalah seorang namja. Penilaian pertamaku untuknya adalah: dia cantik, bertubuh kecil—tapi lebih tinggi sedikit dariku, dan bergigi seperti kelinci.
           “ohayou minna, namaku Chinen Yuuri. Aku pindahan dari sekolah sma di Australia,..” kata anak itu memperkenalkan dirinya.
           Huft, membosankan. Pasti setelah ini dia akan duduk didepanku—di kursi yang kosong yang berada tepat didepanku. Aku lebih suka duduk dibelakang dari pada didepan. Menurut pendapatku, jika duduk dibelakang, kau bisa melakukan apapun yang kau mau. Kalau didepan, kau tidak akan bisa sebebas duduk dibelakang.
          “Chinen, kau akan duduk didepan Ryo-chan. Ryo-chan?!” panggil Shin sensei kepadaku.
          “ne, sensei” sahutku sambil mengangkat tangan kananku. Benarkan, dia akan duduk didepanku. Benar-benar hari yang menyebalkan.
          “sekarang kau boleh duduk”
          “ne, arigato Shin sensei” balas laki-laki itu dan langsung mengampiri kursinya.
          “baiklah. Sekarang buka buku catatan kalian”

```````````````````````
           Bel istirahatpun berbunyi. Situasi yang sangat tepat untuk merebahkan semua otot-ototku yang kaku karena terlalu lama duduk dan belajar. Akupun memutuskan untuk pergi ke atap sekolah untuk menghirup udara segar disana.
          “ehm, Ryo-chan..” panggil seseorang dari belakangku.
          Akupun menoleh dan mendapati ‘anak baru itu’ sedang berlari mengejarku. Aku tak tau apa yang sedang ia lakukan. Tapi aku iba melihatnya yang berusaha mengejarku, dan akupun mengentikan langkahku.
            “Ryo-chan, huh.. akhirnya kau berhenti juga” ucapnya kepadaku.
            “ada apa?” balasku singkat.
            “maukah kau mengantarku mengelilingi sekolah ini?” tanyanya dengan wajah tanpa dosa.
            “nani? Tidak tidak. Aku tidak mau” ujarku dengan juteknya.
            “ayolah. Demi aku..” balasnya dengan ekspresi yang membuatku mual.
            “heh! Memang siapa dirimu, bisa menyuruhku seenaknya” akupun memarahinya dan hampir ingin memukulnya. Tapi kuurungkan niatku menyadari Shin sensei sudah ada tepat dibelakang anak baru itu.
            “ada apa ini?” tanya Shin sensei penasaran.
            “un,” aku tidak bisa berkata apapun. Aku sangat malu karena kepergok akan memukul anak baru itu. Lebih malu karena Shin sensei yang memergoki. Huh =_= *gak nyambung*
            “euh, tidak ada apa-apa sensei. Aku hanya meminta Ryo-chan untuk menemaniku berkeliling di sekolah ini” jelas anak itu kepada Shin sensei.
            “oh, kalau begitu. Ryo-chan! Sensei minta tolong untuk menemani Yuu-chan ya. Karena sensei sangat sibuk, jadi tidak bisa menemaninya. Sekali lagi, sensei minta tolong ya,” pinta sensei kepadaku.
            Aku hanya mengangguk dengan terpaksa. Jika bukan Shin sensei yang menyuruhku. Aku tidak mau harus berurusan dengan anak baru itu.
           “wah Ryo-chan, sensei sangat berterima kasih. Dan sensei juga minta tolong untuk menjaga adik kesayangan sensei yang cantik ini”
           “nee-chan! Jangan panggil aku cantik lagi!” bentak anak baru itu kepada sensei. Yang ternyata adalah kakaknya.
           “iya..iya.. Ryo-chan, dan Yuu-chan. sensei pergi dulu ya, sampai jumpa. Jangan lupa dengan kata-kata sensei”
           “ne,” ucapku yang hampir bersamaan dengan anak baru yang menyebalkan itu.
           “Ryo-chan, kita mulai dari mana?” tanyanya dengan wajah kegirangan.
           “what-e-ver” kataku mengabaikan ucapannya. Dan langsung berjalan menaiki tangga menuju atap.
           “eh? Kau mau kemana? Tunggu aku..” teriaknya padaku.
           Aku malas menghiraukannya. Dan aku tidak mau menghentikan langkahku hanya demi adik Shin sensei itu.
           “Ryo-chan! Tunggu aku..” ucapnya yang sudah berhasil menarik lenganku hingga aku hampir jatuh—tapi ia berhasil menangkapku hingga aku jatuh kepelukannya. Iuh,
           Aku mendengar detak jantungnya begitu berdebar kencang saat kami berpelukan. Akupun melepaskan pelukannya dengan paksa.
          “gomena” ucapnya lirih dengan wajahnya yang memerah.
           Lagi-lagi, aku tidak menghiraukannya. Tiba-tiba bel tanda memasuki jam pelajaran berbunyi. Dan aku sangat kesal karena tidak jadi ke atap karena anak menyebalkan itu. Tapi pikiran licikku menyuruhku untuk membolos pada jam pelajaran itu. Haha, sepertinya menyenangkan.
          “Ryo-chan. kau tidak kembali ke kelas?” tanya anak baru itu yang masih berdiri dihadapanku dengan penuh percaya diri.
         “tidak. Hari ini aku sangat malas belajar. Kau saja yang kembali ke kelas!” perintahku kepadanya.
         “tidak. Kau tidak boleh bolos. Nanti sensei marah!!” sepertinya anak itu mencoba mencegahku untuk tidak membolos. Tapi, bodo amat ah, toh aku ini yang bolos.
         “aku tidak perduli dengan sensei. Yang jelas aku mau ke atap dulu :P ” ucapku sambil berlari menuju atap sekolah.
         “sensei! Ada anak yang mau membolos!!” teriaknya sangat lantang hingga aku harus turun kembali untuk membungkam mulut si anak baru itu.
        “Yuu-chan! Apa yang kau lakukan?!” tanyaku sambil membekap mulutnya dengan tanganku.
        “mmmm….mmmm…” kata-kata yang aneh keluar dari mulutnya.
        “apa? Aku tidak mengerti!!” ucapku sangat bodoh karena tidak mengerti maksudnya.
        “mmmm..mmmm..mm” ucapnya sambil menunjuk-nunjuk tanganku yang sedang membungkamnya.
        “eh? Gomen” akupun langsung melepaskan bungkamanku padanya. Dan hanya bisa tersenyum miris didepannya.
        “apa kau yakin akan membolos?? Kalau ya, aku akan mengadukannya pada sensei” ketusnya bermaksud mengancamku.
        “jangan! Kumohon!” aku menepukan kedua tanganku dan terpaksa memohon-mohon pada anak menyebalkan itu.
        “ada syaratnya..” ucap lelaki bergigi kelinci itu dengan ketusnya.
        “apa-apa?” tanyaku sangat bersemangat.
        “kau harus….” Ia mulai membisikan ide-ide gila’nya itu ke telingaku.
        “bagaimana..?” tanyanya disertai senyum iblis yang terukir dibibirnya.
        Aku mengalah dan mengangguk. “baiklah jika itu yang kau mau. Aku tidak bisa berbuat apa-apa”
        “YAY! Sankyuu Ryo-chan!” ucapnya kegirangan. sedangkan aku, seperti orang yang baru tertimpa masalah yang sangat berat dan sulit untuk diselesaikan.
~~~~~~~~~~~~~~~


Yuuri POV*

                        Aku terus memandanginya. Apa aku menyukainya? Tidak mungkin. Dia kan laki-laki. Aku tidak boleh menyukainya. Apa kata kakakku nanti kalau aku menyukai seorang laki-laki? Tapi, sepertinya dia anak yang baik.
            “apa?” tanyanya begitu sinis hingga aku mengalihkan pandanganku terhadapnya.
“ti-tidak,” jawabku sangat gugup.
            “kalau dilihat-lihat, kau seperti anak perempuan” kata-kata yang baru saja terlontar dari mulutku ini sepertinya akan membuat dia marah besar. Tapi aku suka melihatnya marah-marah. Sangat kawaii..
            “apa? Anak perempuan? Heh! Dengar ya, kalau menurutku, dirimulah yang seperti anak perempuan :p” balasnya penuh dengan emosi.
            “ne, aku memang seperti anak perempuan,” ucapku sangat senang karena setelah sekian lama aku telah menantikan ia berbicara padaku.
            Dia hanya melihatku dengan tatapan kesal. Ekspresi wajahnya sulit untuk dilupakan.
----------------------

Ryo-chan~~

            Aku bingung dengannya. Kenapa setiap kali memarahinya, ia malah tersenyum kepadaku. Ckckck. Benar-benar aneh.
            Apa ini? Ia mendekat. Apa yang mau ia lakukan?
BUGG
            Aku langsung memukulnya hingga ia tersungkur ke lantai. Yay, pukulanku tepat sasaran. Hahaha..
            “itai Ryo-chan,” ucapnya sambil mengelus-elus pipinya yang tadi kupukul.
            “hehe. Sakit ya? Ka-si-han,” balasku dengan bahasa yang mendadak gahol.

JEGRREKK

            Suara tutupan pintu itu membuatku kaget. Rupanya Mi-chan baru saja datang dan langsung menghampiri kami berdua.
            “siapa dia?” tanya Mi-chan basa-basi sambil memasang wajah cool-nya. Mi-chan adalah sahabatku yang mengetahui segalanya tentang diriku. Bisa dibilang, ia adalah sahabat sekaligus pengganti kakakku. Ia juga tau, kalau sebenarnya aku adalah seorang perempuan. Tapi, karena kebaikan hatinya *huekk* ia masih mau menjaga rahasia itu sampai saat ini.
            “korbanmu lagi?” ucapnya sambil mencengkram wajah Yuu-chan yang madesu itu.
            Korban? Ya. Bisa dibilang begitu. Walaupun sebenarnya aku adalah seorang perempuan, aku paling tidak disukai oleh laki-laki manapun kecuali oleh Kei oppa. Kakak kelasku yang manis dan baik hati. Tapi sayangnya, aku sedang menyamar sebagai pria dan tidak bisa mendekatinya.
            “nee-chan. Hentikan! Kau bisa menyakitinya!” ucapku sambil mencoba melepaskan tangan michi—mi-chan—yang sedari tadi mencengkram wajah Yuuri.
            “hei, Ryo-chan! Apa kau menyukainya?!” tanya Mi-chan begitu tiba-tiba dan membuatku mual dengan tatapannya yang sok manis itu.
            “tentu saja tidak. Aku tidak mungkin menyukainya. Kau ingat kan kalau aku hanya menyukai K..” aku tidak jadi meneruskan ucapanku karena sepertinya Yuu-chan sedang menguping pembicaraanku. Dan mulai tersenyum gaje. Iuh.. “bagaimana keadaannya?” tanyaku mengalihkan pembicaraan juga mengalihkan pandanganku terhadap Yuuri yang sedang nyengir-nyengir itu.
            “seperti biasa. Banyak siswi yang masih mengejar-ngejarnya. Terutama Kairi” jawabnya yag masih sangat membuatku penasaran.
            “uh, gadis itu belum berubah. Lalu, apa kau sudah berhasil menemukan informasi tentang kakakku?” tanyaku mulai serius.
            “belum. Tapi aku berhasil menemukan informasi tentang temannya. Namanya Eugene, dan sepertinya dia mengetahui dimana kakakmu” jawab nee-chan padaku.
            “hei! Sebenarnya kalian sedang membicarakan apa?” tanya Yuu-chan mulai ikut-ikutan.
            “diam kau!” ucapku hampir bersamaan dengan Mi-chan.
            “baiklah” balas Yuu-chan lemas.
            “sudahlah. Aku mau kembali ke kelas. Sepertinya bel sudah mau berbunyi. Kau tidak kembali ke kelasmu?” kata Mi-chan sembari meregangkan otot-ototnya.
            “nanti saja. Aku masih ingin lebih lama disini.” Jawabku lesu.
            “dengan si bodoh ini?” tanya Mi-chan sambil meremas—lebih tepatnya menjambak—rambut Yuu-chan.
            “aww…ampun nee-chan,” ujar Yuu-chan merintih kesakitan.
            “Mi-chan! Jangan ganggu dia. Nanti aku tidak enak pada Shin sensei kalau sampai terjadi apa-apa dengan bocah ini” balasku sambil menarik Yuu dari cengkraman Mi-chan.
           “haha. Benarkan kau menyukainya” celoteh Mi-chan menggodaku.
           “Mi-chan hentikan!” bentakku sangat kasar.
           “hahaha” Mi-chan tertawa cekikikan dan akhirnya meninggalkan kami berdua.
           “uh, terima kasih Ryo-chan, kau sudah menolongku” ujar Yuuri pelan.
           Aku pura-pura tidak mendengarnya dan meninggalkannya disana. Aku berjalan menuju ke kelas dan tanpa sengaja bertemu dengan Shin sensei yang sedang berbicara dengan Kei oppa. Oh, sungguh moment yang tak terlupakan.
           “oh, Ryo-chan. Mana Yuuri?” tanya sensei kepadaku.
           “eh? Hehe..aku..” belum sempat aku menyelesaikan kalimatku Yuu-chan sudah ada tepat disampingku.
           “ada apa nee-chan? Aku disini.” Kata Yuu sambil mengusap-usap lehernya.
Huft, untung saja dia cepat datang. Kalau tidak, bisa turun karismaku  dimata sensei dan Kei oppa.
:::::::::::::::::::::::::::::::::::
            Bel pulang sekolahpun berbunyi. Tidak terasa anak baru itu sudah berada selama seminggu dikelasku. Senang sekali, karena ia sudah mempunyai benyak teman dan tidak menggangguku lagi. Menyenangkan bukan? Tapi sepertinya hari ini aku akan bertemu dengannya kembali karena ada kegiatan yang mengharuskan seluruh siswa dikelas untuk datang dan membantu di acara kegiatan tersebut.
            “Ryo-chan!” panggil orang yang tidak diharapkan untuk datang pada saat ini.
             “un,kau mau apa?” tanyaku begitu ketus dan menakutkan.
            “itu…aku mau…”
            “Ryo-chan! Ikut aku!”lagi-lagi Mi-chan memotong pembicaraan kami dan itu membuatku sangat senang. Kali ini ia bukan hanya memotong pembicaraan kami. Tapi, ia juga menarik sebelah tanganku dan mengajakku ke suatu tempat.
            “Ryo-chan tunggu” ucap Yuu-chan sambil menarik sebelah tanganku. Nahlo, jadi tarik-tarikkan kan. Aduh..
            “ah, kau ini!” ucap Mi-chan disertai pukulan hebat diwajah Yuuri hingga ia jatuh.
            “aww..” teriak Yuu-chan kesakitan.
            “eh?” celotehku bingung harus memilih yang mana. Yuuri atau Michi? Sudahlah Michi saja. Nanti setelah urusanku dengan Michi selesai, baru aku akan kembali menemui Yuuri. Betul tidak? Ihh, ditanya diem aja.

Di aula yang sepi..

            “ada apa Mi-chan?” tanyaku begitu penasaran.
            “ini” kata Mi-chan sambil memberikan secarik kertas padaku.
            “apa ini?” tanyaku dengan wajah penuh tanya.
            “ini nomor telpon kakakmu. Aku mendapatkannya dari temannya, Eugene” jelas Mi-chan padaku.
            “nani? Benarkah? Terima kasih nee-chan!” balasku disertai senyum yang mengembang dan masih tidak percaya hal ini akan terjadi.
            “sama-sama. Semoga kau bisa bertemu lagi ya dengan kakakmu” sahut Mi-chan sambil mengelus-elus rambutku.
            “ne. sekali lagi terima kasih Mi-chan” aku membungkukan sebagai tanda berterima kasih dan bersyukur akhirnya aku bisa mengakhiri semuanya dan pindah.
            “ya. Tapi maaf, aku tidak bisa menemanimu sekarang. Aku harus menjenguk temanku yang sedang sakit” balas Mi-chan sedikit lemas.
            “oh. Ya, aku tau. Semoga temanmu cepat sembuh ya nee-chan” ujarku yang sebenarnya, hehe, tidak perduli dengan temannya nee-chan itu.
            “baiklah, aku pergi dulu.sampaikan salamku pada nii-chanmu ya. Jhaaaa~” ucap nee-chan sambil melambaikan tangannya padaku.
            Aku mengangguk dan membalas lambaian tangan nee-chan. “hati-hati ya nee-chan!”
            “tentu~” balas nee-chan terlihat sangat bahagia.
------------------
            Mana ponselku?
Aku merogoh saku baju dan celanaku. Tapi tetap tidak ketemu. “kemana ya?” ucapku mulai stress karena barang yang kucari itu hilang entah kemana.
            “ini,”  ucap Yuu-chan sambil menyodorkan ponsel yang sedari tadi kucari-cari itu.
            “arigato Yuu-chan” aku langsung merebut ponsel itu dari genggamannya dan mengambil secarik kertas yang tadi kusimpan disaku bajuku.
            Kenapa hatiku berdebar begitu kencang. Apa mungkin, karena akan segera berbicara dengan manusia kurang ajar yang sudah lama tak kujumpai itu. Tapi walaupun begitu. Aku tetap menyayanginya. Nii-chan! I LOVE YOU FOREVER (?)
            Aku menarik nafas dan mencoba mengatur detak jantungku agar kembali seperti semula. Ku tekan keypad ponselku sesuai dengan nomor yang diberikan oleh Mi-chan.
            “moshi moshi…”
            Terdengar suara lembut yang sangat kurindukan. Ya. Dia memang nii-chanku. Suaranya khasnya membuatku makin percaya kalau dia memang kakakku.
            “moshi moshi.. dengan siapa ini? hei tolong jawab aku..”
            Aku tidak berani menjawabnya. Maka dari itu, aku langsung menutup telponku. Memang tindakan yang paling bodoh yang pernah kulakukan. Tapi, setelah mendengar suaranya saja aku bisa lebih tenang sedikit. Kusimpulkan bahwa kakakku itu baik-baik saja dan sudah pasti, ia masih hidup! Hahahaha..
******************
Toma’s POV*

           “siapa yang menelpon?” tanya Eugene padaku.
           “aku juga tidak tau, begitu kutanya untuk yang kedua kalinya, ia malah menutup ponselnya.” Jawabku bingung dengan si penelpon tadi.
           “mungkinkah..”
           “mungkinkah apa?” tanyaku mulai curiga pada Eugene.
           “mungkin wanita itu yang menelponmu..” jawab Eugene.
           “wanita? Siapa?” tanyaku lagi makin penasaran.
           “aku tidak tau. Dia bilang, dia minta nomormu untuk diberikan kepada temannya..” jawab Eugene yang sangat membuatku kesal dan penasaran.
           “seperti apa ciri-cirinya?”
           “rambutnya hitam, ya lumayan panjang lah. Tubuhnya kurus dan yang kutahu di masih sma” jelas Eugene.
           “mungkinkah gadis itu…”




~~TO BE CONTINUED~~

Dimohon kritik dan sarannya.
Maafkan saya hanya mampu membuat yang seperti ini.

Gomawo udah baca ^^




by: Ilma onnie
0 komentar
 
 

© Hey Say Jump ! Copyright by Miss Rinda

Layout by Aurora24 | It's Gonna Crazy